10. 🕊

1.5K 65 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم✨

“Untuk apa memaksakan sesuatu yang ternyata belum waktu terbaiknya untuk kita. Dia yang maha mengetahui. Pasrahkan pada-Nya.”

(Ustadzah Ummu Salim Jindan)

Ophi_16


10. Lamaran Azri

Asya melirik jam dinding dibelakangnya. Lalu beranjak ke kamar mandi guna mengambil wudhu.

Setelah beberapa menit di kamar mandi. Saat Asya keluar ternyata bertepatan dengan pintu ruang inap Maira yang dibuka dari luar. Memunculkan sosok Tante Aya, Om Jefri, dan juga Azri.

Asya tersenyum sambil berjalan kearah Tante Aya. Menyalimi tangan wanita cantik itu dan juga menangkupkan tangannya didepan dada begitu sampai di depan Om Jefri.

Tante Aya tersenyum lembut pada Asya lalu berjalan mendekati ranjang Maira. Gadis mungil itu rupanya sudah pulas tertidur.

"Silahkan duduk, Tante." Asya mempersilahkan Tante Aya duduk dikursi samping ranjang. Sedangkan dirinya berdiri di sisi ranjang lainnya. Om Jefri dan Azri langsung duduk di sofa pojok ruangan.

Terlihat, Azri yang gugup tengah meremas jemarinya sendiri. Om Jefri yang melihat tingkah anaknya hanya tersenyum. Lalu pandangannya mengarah pada Asya yang berbincang dengan istrinya.

Asya gadis yang cantik, lemah lembut, baik, juga sholehah. Pantas saja jika putra tunggalnya ini menaruh rasa pada gadis itu.

"Aduh, maaf ya, Sya. Tante sama Om baru bisa jenguk sekarang. Malam-malam lagi. Pasti kamu capek banget," ujar Tante Aya bersalah pada Asya. Asya yang sedang mengelus rambut Maira mendongak, menatap Tante Aya dengan senyuman lembut.

"Tidak apa-apa, Tante. Harusnya Asya makasih sama Tante Aya sama Om Jefri udah nyempatin jenguk. Kata Azri, Om sama Tante lagi sibuk diluar kota seminggu ini."

Urusan perusahaan juga cabang restaurant yang berada diluar kota memang harus membuat Aya dan Jefri bertandang langsung kesana. Sebab itu juga mereka sudah menyerahkan tanggung jawab restaurant  yang ada disini untuk dikelola Azri.

Bukan sekali dua kali mereka pergi keluar kota seperti ini. Bahkan mereka juga sudah membeli rumah diluar kota untuk jaga-jaga ketika harus mengurus beberapa urusan yang memakan waktu lama.

Cabang restaurant yang baru berdiri beberapa bulan lalu itu memang masih harus butuh pengawasan dan arahan khusus. Meskipun Jefri sudah menyerahkan semuanya pada orang kepercayaannya.

"Oh ya. Maira gimana? Udah ada perkembangan?" tanya Tante Aya. Kasihan sekali melihat Maira yang ceria itu bisa mengidap penyakit ganas seperti ini. Aya juga kasihan pada Asya. Pasti beban gadis itu bertambah sekarang.

"Alhamdulillah. Sekarang sudah jarang mimisan, Tan. Medis juga menyarankan agar kemoterapi dahulu. Karena Maira belum siap untuk operasi."

"Iya betul itu. Jangan dipaksa. Lagian Maira juga masih kecil. Bahaya juga kalau operasi. Lebih baik kemoterapi dahulu. Kalau secara rutin pasti sel kankernya juga tidak akan cepat menyebar." Tante Aya menatap Asya teduh. Tatapan khas seorang ibu pada anaknya. Bukan setahun dua tahun dirinya mengenal Asya. Sedari kecil Asya memang sudah sangat dekat dengan keluarganya. Aya sendiri sudah menganggap Asya sebagai anaknya. Dan sepertinya anggapan itu akan terwujud sebentar lagi.

Perbincangan berlanjut. Jefri yang sedari tadi menyimak perbincangan asik itu beranjak dari duduknya. Azri mendongak menatap langkah Papanya yang berjalan menuju Mamanya juga Asya.

Ikhlaskah Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang