Holaaaa ayem beeeekk~~
Hehe, bab yang harusnya saya posting dari minggu kemaren kalau aja saya gak mager. Pengen gitu, balik rutin apdet tiap malem minggu kayak jaman Yunani dulu.
Selamat bertemu typos :*
Sudah masuk tengah hari begitu akhirnya teriakan lantang bergemuruh mengisi arena lapangan basket. Sosok gadis mungil di tribun mengendik begitu seluruh Kakak kelas di sekitarnya berdiri dan melompat-lompat. Syakilla diam saja memperhatikan.
Satu persatu dari mereka turun dari bangku. Berjalan ke arah lapangan dan berkumpul. Berbincang, mengambil makanan ringan ataupun minum, kurang lebih sama seperti yang dilakukan kelas-kelas lain begitu salah satu tim mereka baru selesai bertanding.
Pada akhirnya Killa ikut menuruni tribun ketika hanya dirinya tersisa dan beberapa penonton baru yang sudah siap melihat pertandingan berikutnya. Dia memasuki lingkaran Kakak tingkatnya di saat mereka masih bebincang di pinggir lapangan. Saling memberikan pujian dan dukungan.
Kedua tangan si gadis masuk ke dalam saku celananya. Dia harus mencari Kiel karena sepertinya kelasnya akan bertanding badminton sebentar lagi. Tugas konsumsi masih belum tuntas dan tidak mungkin rasanya jika dia tinggalkan anaknya begitu saja.
Manik hitam bundarnya bergulir memindai sekeliling. Ingin mendapati bayi manis yang sudah sangat dihapalnya. Hanya saja dia termangu, alih-alih segera melangkah ke tempat sosok yang dicarinya.
Ibaratnya, kalau menusuk jari dengan jarum itu ngilu, dia bisa mengambil tindakan medis di titik lukanya. Tapi, kalau titik itu sendiri invisible, bagaimana cara dia mengambil tindakan pengobatan?
Dia bukan indigo yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat.
Bukan juga cenanyang yang bisa mengambil kesimpulan dari sesuatu yang akan terjadi.
Syakilla melenguh.
Dia mengulum bibir, bingung harus apa. Pada akhirnya hanya berdiri diam di sana, memandangi tubuh mungil Putranya.
Bukankah itu sangat tepat, bagi Kiel... untuk ada di sana?
Tentu saja. Anak paling manis yang pernah Syakilla lihat itu kini duduk santai di pundak Ayahnya. Tubuhnya menggulung memeluk leher dan kepala Azka, dengan punggung disanggah oleh tangan seorang siswi cantik agar tak terjatuh.
Mereka tertawa. Paduan antara euforia kemenangan dan formasi sempurna untuk sebuah keluarga kecil. Itu sangat menjanjikan kebahagiaan—
—untuk Kiel.
Dia masih di sana. Berdiri dan merenungkan sebuah hipotesa. Jadi pajangan sukarela di pinggir lapangan penuh sesak. Sampai tubuhnya bergidik kecil.
Ada bentang sekian meter di antara mereka. Diisi keriuhan bergemuruh dari puluhan siswa lain. Tak lazim rasanya jika hanya tawa tiga orang di seberang saja yang terdengar di telinga. Sebentar, sebelum manik arang berkilau melebar.
Aliran hangat terasa menderu di dalam nadi. Begitu deras ketika pemacu berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Lagi-lagi hal baru bagi si gadis. Hal seperti ini belum pernah sekalipun dirasakannya.
Saat dia tak sengaja mendengar frasa lembut dari bibir seorang gadis lain.
"Zee, nunduk lagi dikit. Nanti Farel jatuh."
Kuping Syakilla berdengung.
Kalimat itu, kalimat itu entah bagaimana terasa memiliki aura magis.
Aura yang membekukan seluruh aliran darahnya. Sebelum kemudian memacu jantung berkali lipat lebih keras dari biasanya.
Tidak masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days, Education Of Being Parents
Novela Juvenil"Aku dan Kamu, punya seorang bayi untuk 90 hari ke depan." *** Syakilla Rahayu si siswi SMA sederhana, seketika berubah kelimpungan saat mendapati alat aneh di kamarnya. Sebuah benda asing yang ternyata menghubungkannya dengan seorang Kakak kelas me...