Bab 37 | Di Dalam Bias Biru

10.9K 1.6K 208
                                    

Malam semua~

Widih, up lagi nih cerita? Ini isinya sebenernya sambungan dari bab kemarin yang aku potong. Ya abis kalau digabung jadi nyaris 4000 kata. Mabok nggak tuh bacanya? Hoho kuy lah~

Pesta telah dimulai sejak tadi.

Pluk!

Buku tebal tersebut ditutup oleh pemiliknya. Dia cowok tinggi berkacamata yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di kamar membaca buku, baru menyadari telah kembali kehilangan waktu. Menyendiri dengan setumpuk buku tebal selalu berhasil membuatnya lupa akan sekeliling. Kini dia ketinggalan pesta tahun baru yang diadakan bersama teman-temannya.

Kelompoknya, yang telah bersama sejak SMP. Gio ingat bagaimana mereka pertama kali berkomunikasi satu sama lain. Saat itu, dia dan Azka duduk berdua di satu meja yang sama, didatangi oleh seonggok makhluk halus yang terus mengemis jawaban matematika. Sialnya, mereka justru terjebak percakapan tak putus karena si tengil itu selalu punya bahan pembicaraan.

Lalu entah bagaimana, ketiganya jadi dekat.

Nadine bergabung di tingkat kedua sebagai murid baru. Seorang social butterfly yang ramah pada siapapun. Mudah menelusup ke area pertemanan banyak orang. Kemudian Farah, si cantik yang gencar mendekati Azka sampai mereka berdua akhirnya jadian.

Mungkin Gio pendiam. Tapi dia paham dengan baik tabiat sahabat-sahabatnya. Memegang pedang dan tameng, siap menyerang dan melindungi. Benci terhadap makhluk penghisap bertopeng.

Satu di antara mereka, cukup sensitif jika bicara soal orang baru. Gio tahu itu. Si dia, yang bisa tersenyum tengil pada semua orang, membuat mereka lengah terbawa canda...

...lalu menikam dari belakang tanpa ampun.

"Guys, ada baby baru!"

Semua mata menyambut dengan keterkejutan. Sampai percik binar pecah kemudian ketika si bayi membuka mata. Makhluk mungil ajaib yang meringkuk hangat dalam pelukan seorang gadis berseragam SMA.

"Farah, itu baby siapa ya ampun?"

"Azka. Liat Nad," Farah mengangkat bayi di gendongannya, "mirip Zee banget kan?"

Siapa yang tidak bisa tersihir pada sorot murni kecoklatan tersebut? Menumbuhkan sinar baru di mata yang pernah sembab. Sayang, semua hilang saat kalimat sendu Farah mengudara.

"Tapi bukan gue Ibunya..."

Gio bangun, merapihkan kembali buku miliknya. Menyadari bahwa dia tetap harus datang ke pesta tak peduli seberapa keraspun dia ingin tetap di kamar.

Semoga saja, tidak ada hal merepotkan yang terjadi. Karena sebagian dari instingnya berkata hal gila telah berlangsung.

***

"Jadi, gemes... ngapain lo ada di sini?"

Mata Syakilla melebar kaget.

Pada detik itu, dapat si cewek lihat satu senyuman miring terbit di bibir Andre. Begitu pun tangan besar yang langsung mencengkram dagu gadis manis. Mengarahkannya dengan kuat agar Killa terus melihat ke arah di mana sepasang kekasih berbalut busana renang senada.

"Coba lo liat lebih jelas. Itu udah pas banget kan?" Andre mendekat gemas, mencengkram lebih erat rahang Syakilla. "Kalo lo punya otak, lo harusnya mundur dari awal."

Bibir Killa memucat. Secepat cahaya pergi, secepat itu pula rautnya berubah marah. Mencengkram balik tangan besar di rahangnya meski hanya dengan sebelah tangan. Dia kesulitan bicara.

"Padahal dari awal gue udah baik banget loh minta lo buat mundur. Bahkan sebaik itu buat nawarin diri jadi pacar lo."

Wajah Andre berubah masam dan sedih dibuat-buat. "Tapi dasar lo tolol, bukannya mundur malah makin menjadi."

90 Days, Education Of Being ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang