Rasa yang Berkecamuk

367 30 2
                                    

Bismillah. Hai, hai! Apa kabar? Aku bawa cerita baru setelah sekian lama hiatus. 🙈
Moga pada suka dan sehat, ya. 🤗

Menunggu itu memang bukan perkara mudah. Setiap kangen, yang bisa dilihat bukan orangnya, melainkan sebuah foto. Aku juga enggak bisa dengar suaranya setiap saat. Memang, enggak ada jarak membentang di antara kami. Aku kerja di Jakarta Selatan, sedangkan dia di Jakarta Timur. Namun, segudang rutinitas dia yang super sibuk menjadi penghalangnya.

Terkadang, aku merasa berstatus jomlo. Namun, ada yang punya. Makanya, Riyan—kakakku—atau siapa pun enggak pernah percaya kalau aku ini punya pacar. Secara, jangankan kencan, mengabari saja sesempatnya dia.

“Beres! Tinggal ngopi sambil nikmatin sebatang rokok. Ya, gak, Marko ... eh, Nana adikku tersayang?” tanya Riyan sambil menaik-turunkan kedua alis tebalnya.

Aku mengembuskan napas kasar. Bisa-bisanya dia mau menyulut emosiku dengan menyebut nama itu. Riyan memang enggak bisa melihat situasi dan kondisiku. Sudah tahu kalau adiknya ini enggak suka dipanggil ‘Marko’ apalagi ada ‘Nah’nya, eh, dia malah kayak sengaja.

Kutaruh ponsel di lantai, sudah kadung dongkol karena menunggu balasan pesan dari seseorang. Kayaknya, pesanku bakalan dibalas nanti malam, entah besok.

“Yan, laper,” ungkapku setelah seperempat jam berlalu begitu saja, tanpa balasan darinya, tanpa camilan juga.

“Buset, baru juga tadi abis Maghrib makan mie, sekarang udah laper lagi aja. Perut lo gak melar, Na?”

“Gue makan mie doang. Lah, lo? Mie pake nasi.”

“Elah, nasi porsi tiga rebu, Na.”

“Mienya dobel kalo lo lupa.”

“Ya, porsi makan cowok sama cewek itu beda, Na. Kalo porsi makan cewek banyak, itu namanya gembul. Kalo porsi makan cowok banyak, itu wajar. Tenaga cowok itu berkali-kali lipat daripada cewek.”

Aku enggak menyahut lagi. Percuma. Riyan selalu punya cara supaya aku bungkam.

Kulirik lagi ponsel yang tergeletak dekat botol minuman yang sudah kosong. Perasaan gelisah dan jengkel lebih dominan. Memangnya, kerja di kantor enggak boleh pegang ponsel sama sekali? Seketat itu, kah?

“Yan, lo pernah enggak, ngerasa jenuh, bosen karena hubungan lo sama cewek lo monoton, atau semacamnya?” tanyaku setelah sepersekian menit terjebak dalam keheningan.

“Napa, lo? Tumben buka topik curhat. QnA lagi.”

“Ih, jawab dulu!” selorohku.

“Sering, lah.”

“Terus, lo nyikapinnya kayak gimana?”

Riyan enggak langsung menjawab. Dia malah mengambil sebungkus rokok yang isinya cuman tiga batang di saku celana jeans pendeknya. Aku tahu karena tadi dia ikut ke warung saat membeli mie rebus untuk kami makan. Kebetulan, di indekos sini disediakan kompor satu tungku, berikut piring, gelas, dan mangkok. Hanya saja, kalau pecah harus diganti.

“Ya, gak gimana-gimana. Paling, gue gak buka chatnya.”

Nah, kok, mirip dengan Arkana yang jarang buka chat dariku? Apa si Riyan lagi nyindir?

“Terus, kalo cewek lo ngomel chatnya enggak dibuka, alesan lo apa?”

“Sibuk kerja, buat ngumpulin modal kawin,” sahut Riyan seperti asal ceplos.

“Terus, cewek lo pernah komplain bosen gara-gara alesan lo?”

Riyan mengangguk. Dia mengepulkan asap rokok hingga membentuk kumpulan abstrak. Bikin pengap! Aku ingin mengusirnya supaya dia merokok di luar, tapi penasaran dengan pertanyaan yang selama ini mengendap di otak. Bikin pikiran berkecamuk. Hati gelisah. Masalahnya, pacarku pun begitu. Alasan sibuk inilah, sibuk itulan, padahal, nyatanya ... ah, lupakan! Banyak prasangka cuma bikin kepala berdenyut.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang