Go Ahead!

203 16 0
                                    

Maafkan kalau ending nggak sesuai. ☺😁

***

“Berengsek!”

“Bang Riyan, lepas! Udah!”

Aku bergegas melepaskan pelukan. Lalu, menatap ke arah pintu, di mana semua orang di ruang tamu tergopoh-gopoh ke luar. Kulirik Mama, air mukanya tampak gelisah.

Jantungku berdegup lebih cepat saat mendengar jeritan yang bersahutan dari luar indekos. Pikiranku semakin enggak keruan saat mendengar pekikan Raya dan makian Riyan. Tanpa pikir panjang, aku ikut menerobos ke luar.

“Semiskin-miskinnya keluarga gue, lo gak berhak ngehina kami seenak jidat lo, Bang! Orang miskin juga punya hati, dan kami ingin dihargai. Kalo niat lo cuman mau nyakitin hati ade gue, pergi dari sini, dan jangan sampe gue liat muka lo lagi!”

Aku meringis saat kepalan tangan Riyan menghantam wajah Bang Rendra. Cowok itu tersungkur di jalanan indekos. Seketika, terdengar jeritan Tante Lusi, Tante Ardina, dan Kisya yang meneriakkan nama Bang Rendra. Bang Rendra sama sekali enggak memberikan perlawanan. Aku bisa menjamin, dengan Bang Rendra pasrah seperti itu, Riyan semakin bernafsu menyerang.

“Bang, sabar, Bang,” pinta Dicko sambil menahan tubuh Riyan agar enggak menonjok Bang Rendra lagi.

“Lepasin gue, Ko!” bentak Riyan seraya mengempaskan tubuh Dicko.

Kepalan tangan Riyan melesat dari target. Kali ini, Bang Rendra menghindar. Dicko terlihat kepayahan saat memisah Riyan yang sudah kesetanan. Om Hamied membantu Dicko menahan pergerakan Riyan.

“Riyan, berhenti, Nak,” raung Mama, hendak menghampiri mereka, tapi Raya kuminta untuk menahannya.

“Riyan, cukup!”

Aku menghampiri mereka dan berdiri di antara Riyan dan Bang Rendra. Riyan mundur beberapa langkah saat kepalan tangannya hampir mengenaiku. Dia tampak kesusahan menetralkan emosi. Dadanya naik turun dengan embusan napas yang terdengar kasar.

“Kenapa lo masih ngebela dia, Na?” tanya Riyan dengan napas terengah-engah.

“Gue enggak ngebela siapa pun! Gue cuman mau, sebagai tuan rumah, kita jaga sopan santun. Kenapa lo jadi lepas kendali kayak gini?”

Riyan memejamkan mata sebentar. “Karena gue gak bisa diem saat orang-orang yang gue sayang diinjek-injek dan disakiti!”

Setelah sekian tahun berlalu, aku baru melihat Riyan meluapkan kemarahannya saat memukul lawan dengan membabi-buta lagi. Air mataku semakin sulit dihentikan. Ada perasaan haru karena selama ini, Riyan begitu besar menyayangiku. Dia rela melakukan apa saja jika melihatku disakiti. Di sisi lain, aku ingin melerai perkelahian mereka, ada rasa enggak rela di hati saat melihat Bang Rendra babak belur.

Serangan seperti itu pernah dia berikan kepada teman kami yang mengatakan kalau aku dan Riyan seperti anak haram karena Mama enggan tinggal bersama kami. Namun, kali ini aku kecewa terhadap apa yang sudah dia lakukan.

Tatapanku beralih kepada Bang Rendra. Dia menolak Tante Ardina secara halus yang hendak menghampirinya. Sepertinya, hanya Tante Lusi yang boleh memegang lebam di sekitar wajah Bang Rendra. Ekspresinya datar, seolah-olah memar di sekitar wajahnya enggak menimbulkan rasa sakit sedikit pun.

“Ada apa ini?”

Air mataku luruh ketika pandangan ini berserobok dengan seseorang yang baru tiba di halaman indekos sambil menggenggam jemari sang istri. Enggak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Kak Djoana juga. Arkana dan Kak Djoana datang terlambat. Andai mereka datang lebih awal, mungkin ada yang membantu Dicko menghentikan aksi gila Riyan, atau bahkan menahannya.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang