Kejutan

49 11 0
                                        

“Eh, nambah gula sekilo, teh celup dua pak, sama terigu tiga kilo, yo, Neng Raina.”

“Siap, Bude.”

Aku menyiapkan belanjaan salah satu pelanggan toko. Alhamdulillah, usai hujan tadi sore, toko ramai sekali. Bukan hanya pelanggan, tapi banyak pembeli yang baru kulihat.

Aku mengajak bude ke meja kasir. Meskipun di sana ada Bang Rendra, dia mana mau melayani pelanggan, kecuali kalau kepepet.

“Jadi nambah empat puluh empat ribu, Bude.”

Bude memberikan selembar uang lima puluhan. Aku menerimanya dan mengambil kembalian di laci. Keajaiban selalu terjadi saat Bang Rendra duduk di kursi dekat laci, di laci pasti hanya ada uang receh. Itu pun bisa kutebak enggak bakal sampai dua puluh ribu.

“Ini, Bude, kembaliannya. Terima kasih.”

“Bude juga. Matur suwun wis dibantu, Mas, Neng. Sampun, Bude bayare lama.”

“Sama-sama, Bude,” jawab Bang Rendra disertai seulas senyuman tipis.

“Ko, tolong angkatin belanjaan si bude yang di dus itu ke motornya,” pintaku yang langsung dituruti Dicko.

Aku bersyukur karena Dicko enggak jadi dipecat. Semalam, aku berhasil menggagalkan rencana Bang Rendra. Kutanya dia saja, siapa yang akan membantuku beres-beres saat turun barang? Kisya? Dia angkat galon sampai ke teras luar saja sampai banjir keringat. Lalu, memangnya Bang Rendra mau membantuku mengangkat beban yang berat-berat? Selama bekerja dengannya, membereskan barang enggak berbobot pun dia menyuruh. Bos mah beda.

Setelah bude dan beberapa pelanggan pulang, aku melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda. Satu per satu barang pesanan salah satu pelanggan sudah terkumpul. Tinggal beberapa macam lagi.

“Rain, cek ulang orderan kedua produk ini. Saya lihat, stok susu UHT 125 ml masih banyak di gudang. Mie instan dan beberapa minuman kemasan kotak juga.”

Ya, ampun, titah paduka sudah terdengar. Bang Rendra sudah berdiri sambil memberikan selembar kertas yang tadi kutulis. Biasanya, kalau ada barang kosong, aku, Kisya, dan Dicko akan menulisnya di kertas supaya enggak lupa.

“Iya, Bang. Bentar, ya? Saya lagi tanggung.”

“Saya mau kamu cek sekarang.”

“Tapi, Bang, ini bentar lagi beres. Kalo ditunda lagi, saya takut ada barang yang lupa di—”

“Kamu bisa cek ulang, ’kan? Cek dan menyiapkan pesanan pelanggan lebih lama mana, Rain?”

“Oke, Bang.”

Aku menarik napas berat, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Sabar, Raina, jangan sampai terbawa emosi. Bang Rendra memang sedikit kurang asam, jadi kalau apa-apa, maunya instan terus.

Aku bergegas pergi ke gudang. Biarkan saja pesanan salah satu pelanggan menumpuk di lantai. Biar nanti dirapikannya, sekalian ditotal. Lagi pula, memangnya Bang Rendra enggak bisa sabar sebentar apa? Kalau pekerjaanku sudah rapi, kan, gampang mau mengerjakan apa pun.

Sesampainya di gudang, mataku mengedar. Di antara ketiga produk mie instan yang akan diorder besok. Memang, masih ada beberapa stok dus mie. Namun, kalau diperkirakan, sejumlah mie itu enggak bakal cukup untuk beberapa hari ke depan. Mana cuman ada tiga varian rasa lagi, enggak komplit. Kalau stok enggak ditambah, aku yakin kalau kami akan kekurangan barang.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang