Kisah yang Usai

70 13 0
                                    

Hai, selamat malam. Raina menyapa kamu yang lagi bermimpi. 😀

‘Bukankah napas dalam sebuah hubungan itu interaksi yang terjalin baik?’

Ada yang setuju?

***

“Na, gue lagi nyari pinjeman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Na, gue lagi nyari pinjeman. Lo jangan mewek terus napa! Pengang kuping gue denger lo nangis terus dari tadi sore.”

Aku enggak peduli dengan pinta Riyan. Aku hanya ingin menangis, menumpahkan rasa sesak yang menguasai dada. Lagi pula, aku menangis bukan karena utang pada Bang Rendra, melainkan karena Arkana.

Aku sadar sesadar-sadarnya kalau aku juga salah. Aku yang memutuskan dia, kanjut memblokir nomor ponselnya, enggak mendengarkan jawaban Arkana juga.

Namun, memangnya salah kalau aku juga ingin mendapatkan perhatian dan pengertian dari sosok yang paling kukagumi setelah Ayah dan Riyan? Bukankah napas dalam sebuah hubungan itu interaksi yang terjalin baik? Lalu, bagaimana cinta bisa membentuk sempurna kalau untuk bernapas saja kesusahan.

“Lieur aing, Na—”

“Ya, udah, diem!”

“Gue juga puyeng, Na. Makanya, lo jangan mewek terus.”

Gue mewek bukan karena itu, Riyan!

“Mungkin ... anjay, sifat bar-bar lo malah keluar,” sahut Riyan setelah kulemlar handuk kecilnya yang tadi kupakai lap. Lemparanku kali ini mengenai bahunya.

“Makanya lo diem. Gue lagi enggak mau denger apa pun. Inget.”

“Ini gimana ceritanya anduk gue bisa basah gini? Ini basah gara-gara air mata lo apa ingus lo, Na?”

Kulirik Riyan yang tengah menatap handuk setengah basahnya. Kemudian, dia melemparnya ke ember kecil tempai pakaian kotor.

“Coba aja kalo kita masih bisa kerja di kedai pecel lele si pakde, mungkin buat sewa kos sama keperluan yang lainnya bisa pake dari gaji nguli malem.”

Aku enggak menanggapi ucapan Riyan. Malas. Dia sudah kusuruh diam, tapi malah terus berceloteh.

“Dah, lo jangan mewek terus. Mudah-mudahan aja temen gue bisa bantu.”

Tatapanku tertuju lagi kepada Riyan. “Bantu apaan?”

“Minjemin duit. ”

“Enggak usah,” jawabku setelah mengatur pernapasan. Lumayan, enggak sesesak tadi.

“Kenapa?”

“Ngutang buat bayar utang itu kayak lari dalam sebuah lingkaran. Utang yang satu lunas, kita dikejar utang lain. Pokoknya gue enggak setuju.”

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang