Terpantau

44 11 0
                                    

Setibanya di toko, aku dibuat terkejut karena di halaman sudah terparkir mobil Bang Rendra dan motorku bersama Riyan. Ketika melihat ke dalam toko, di sana bukan hanya ada Bang Rendra, Kisya, Dicko, Riyan saja. Namun, ada satu orang cowok yang tampaknya seumuran Dicko, dan satu cewek berambut sebahu, serta satu cowok lagi. Tampaknya, dua orang tersebut seumuran denganku.

Mereka tengah berdiri di sekitar meja kasir dengan posisi Bang Rendra duduk di kursinya. Sementara, rolling door area kulkas sampai tengah sudah menutup. Hanya terlihat sekat rak makanan ringan sampai ke area kasir.

Bang Rendra beranjak dari duduknya. Setelah melirikku yang mematung di halaman toko, dia berlalu ke lantai atas. Oh, bahkan di sana, ada Mbak Vivi juga.

“Ada apaan? Mereka siapa?” Kutanya Kisya setelah dia terbirit-birit menghampiriku.

Helm milik toko yang biasa dipakai aku, Riyan, atau Dicko mengantar orderan pelanggan segera kusimpan di kaca spion motor. Kami menyebutnya motor ventaris karena selain legend, motor ini juga dibeli Bang Rendra, sepaket dengan toko.

“Bawahan Bang Riyan. Karyawan si bos yang di cabang,” bisik Kisya ketika kucabut kunci motor, “gawat, Kak! Kita dalam masalah besar!”

“Maksud kamu?”

“Ceritanya entar aja.”

Kisya menjawab pertanyaanku dengan cepat. Padahal, aku ingin tahu dulu masalah di toko yang sejelas-jelasnya. Eh, dia malah menarikku dengan langkah cepat.

Dari ke iga orang teman kerja Riyan di toko cabang, hanya cewek berambut sebahu yang menatapku sinis. Saat berkenalan pun, dia seperti enggan membalas uluran tanganku. Belum lagi bibirnya yang mahal senyum, menambah kesan jutek.

“Lama bener lo.”

Aku berdecak mendengar komplain Riyan. “Tadi si ibu warkop lupa naro uang. Akhirnya gue nungguin dia nyari dulu. Daripada balik ke toko enggak bawa uang, bisa abis kena omel gue.”

Aku enggak sengaja melihat tas gendong Riyan di samping Dicko. “Balik, yuk. Lo mau nginep di kosan, kan?”

Riyan hendak membuka mulut, seperti ingin menjawab ucapanku. Namun, dia kembali mengatupkan bibirnya karena ketukan high heels pada lantai tangga terdengar.

“Oke. Berhubung karyawan teladan sudah datang, kita mulai aja meetingnya, Baby.”

Meeting?

Aku membalikkan badan. Di sana, Mbak Vivi tengah menggandeng tangan Bang Rendra. Sesekali kepalanya menyandar pada lengan Bang Rendra. Dia seperti enggak terganggu dengan air muka Bang Rendra yang enggak enak dilihat.

Musyawarah kali ini atau yang Mbak Vivi sebut meeting, berbeda dari biasanya. Semua karyawan Bang Rendra yang bekerja di Jakarta kumpul di satu toko. Plusnya, ada Mbak Vivi yang mungkin akan memperkeruh keadaan.

“Kisya, Rain, ambil karpet di ruangan saya,” titah Bang Rendra tanpa menatap lawan bicaranya.

“Ayo, Kak.”

Lagi, Kisya menarik tanganku. Kunci motor yang sedari tadi kugenggam segera aku berikan kepada Dicko. Berikut dengan uangnya. “Taro di laci. Gue bantu Kisya dulu.”

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang