Dua porsi nasi uduk, dua cangkir teh panas, dua botol air mineral, dan dua gelas kopi cappuccino sudah terhidang di meja. Semuanya serba dua. Bukan untuk Riyan, bukan untukku juga, melainkan menu sarapan ini untuk Bang Rendra. Namun, karena akhir-akhir ini Mbak Vivi sering ikut ke toko, jadilah si Riyan menyuruhku membeli dua porsi nasi. Pemborosan.
Kata Riyan, anggap saja menu sarapan romantis ini sebagai permintaan maaf karena semalam sudah membuat Bang Rendra marah. Padahal, tinggal minta maaf seperti biasa saja. Selain simpel, aku enggak harus rogoh kocek.
Selesai menyulap meja Bang Rendra di sudut ruangan menjadi meja makan mendadak, aku kembali ke lantai bawah. Beberapa pelanggan sudah tiba di toko. Sepertinya, ini awal yang baik untuk omset harian di toko. Berbanding terbalik dengan perasaanku yang enggak menentu setelah mendengar kabar dari Riyan semalam.
“Mbak Raina manyun mulu, nih. Tumben.”
Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya kedua sudut bibir susah sekali ditarik ke atas. Menjawab sapaan mereka saja malas. Mungkin, ini efek kabar Arkana yang akan bertunangan. Aku enggak terima karena merasa enggak diperjuangkan lagi olehnya.
Rasanya, kali ini lebih sakit daripada saat putus dengan Arkana. Janur kuning memang belum melengkung, tapi aku enggak bisa asal tikung. Terlalu banyak hati yang harus aku hargai.
Terdengar suara mobil menepi di depan sana. Ternyata, mobil Bang Rendra sedang parkir di halaman. Pintu kemudi terbuka, dan keluarlah sosok yang enggak aku harapkan kedatangannya. Terkesan songong, tapi aku lagi dalam fase ingin bebas dari apa pun yang bikin hati dongkol. Serius. Rasanya lebih sakit saat putus hubungan dengannya.
“Selamat pagi, Mas, Mbak.”
“Wah, pagi sekali, Mas?”
“Pasangan yang cocok. Yang satu ganteng. Yang satu lagi cantik.”
Aku memilih meniup poni saat mendengar pelanggan menyapa Bang Rendra dan Mbak Vivi. Bukan iri, tapi kok, sepasang kekasih itu hanya menjawab dengan senyum tipis dan anggukan. Memang, enggak terkesan sombong, tapi apa mereka enggak ada niat menjawab basa-basi para pelanggan?
Ah, kenapa aku malah memikirkan mereka? Bukankah setiap mereka di toko memang selalu seperti ini? Basa-basi yang basi antara pelanggan cari perhatian si bos atau si bos ingin diperhatikan pelanggan. Duh, jiwa jomloku mulai berontak sepertinya.
“Na, kejar sana. Minta maaf,” bisik Riyan sambil menyenggolku dengan sikutnya. Kedua tangannya sedang menenteng belanjaan salah satu pelanggan.
“Semalem gue udah minta maaf. Pagi ini gue udah beliin mereka nasi uduk. Masih kurang?”
Semalam aku minta maaf kepada Bang Rendra enggak, ya? Perasaan, minta maaf, deh. Duh, kok, mendadak blank begini, sih!
“Semalem, ya, semalem. Beda cerita.”
“Ya, udah. Wakilin sama lo sono.” Aku menjawab ketus.
“Dicko!”
Nah, belum apa-apa, Mbak Vivi sudah teriak-teriak di pagi hari. Dia enggak bisa lihat keadaan toko yang lagi ramai.
“Ko, dipanggil, Mbak Vivi!” teriak Kisya.
“Iya, bentar, Sya. Bilangin, gue ngiket belanjaan si ibu dulu.”
“Dickooo!”
“Bentar, Mbak!” jawab Dicko dari luar.
“Ah, elah. Kagak sabaran banget, sih,” gerutu Dicko seraya berlari menuju tangga.
![](https://img.wattpad.com/cover/277891345-288-k431936.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Notifikasi Cinta (Tamat)
ChickLitJudul awal aku pake 'Dear, Mantan'tapi diganti jadi 'Notifikasi Cinta'. Happy reading ~ *** Raina tidak nyaman dengan hubungannya bersama sang pacar yang semakin hambar. Kurang berkomunikasi membuat hati kecilnya memberontak, ingin mengakhiri kisah...