Cucu?

56 12 0
                                    

“Kamu sibuk hari ini?”

Refleks, aku menatap Bang Rendra yang tengah menyetir. Dia memusatkan pandangannya ke depan. Pertanyaannya bikin aku bingung. Maksud sibuk itu apa? Dia kan sudah tahu kalau aku ini pengangguran.

“Enggak, Bang. Soalnya belum dapet panggilan interview.”

Bang Rendra mengangguk hingga dua kali. Kuku jari telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk setir. Sejurus kemudian, Bang Rendra memijat pangkal hidungnya. Lalu, aku bergegas membuang pandangan saat ketahuan sedang memperhatikannya.

Entah sudah berapa lama keheningan menyelimuti kami berdua. Aku enggak menghitung waktu yang telah berlalu. Mau lihat ponsel, hati ragu-ragu. Mungkin, ini salah satu kebiasaan ketika masih kerja dengan Bang Rendra yang belum bisa aku hilangkan.

Mataku mulai menghangat, perih, dan lengket. Kantuk mulai menyerang. Enggak! Sebisa mungkin aku harus bisa menahannya. Malu, dong, kalau enggak bisa menahan kantuk.


***

“Aku tertekan. Mereka terlalu banyak aturan. Belum lagi menuntut ini itu.”

“Kalau kamu tidak menuruti mereka, lalu dengan cara apa kamu akan membantu papamu menyelesaikan urusan dengan keluarga Vivi?”

Aku semakin merapatkan diri pada jendela kamar bernuansa abu-abu. Samar-samar, terdengar suara Bang Rendra berdecak. Setelahnya, enggak terdengar apa pun lagi.

Karena rasa penasaran belum tuntas, aku mengendap-endap ke dekat jendela ruang tamu. Langkah kuayun sepelan mungkin, jangan sampai mengeluarkan suara. Kalau bisa, volume embusan napas pun harus disesuaikan biar aku enggak ketahuan menguping pembicaraan mereka.

Suruh siapa meninggalkanku tidur di mobil sendirian. Mantan bos kurang asem! Bukannya membangunkan mantan pekerjanya, dia malah pergi begitu saja. Untung mobilnya terparkir di halaman rumah, sebab kalau di hotel, bisa mati kutu aku kayak sopir yang nungguin bosnya.

Aku mundur sedikit menjauhi kusen jendela, takut tertangkap basah sedang menguping. Namun, sekian menit berlalu, kenapa enggak ada yang bicara lagi? Jelas-jelas tadi aku mendengar pembicaraan mereka dari arah ruang tamu. Apa mereka pindah ruangan lagi, ya?

Aku mendengar suara yang tampaknya jauh sekali. Ah, pantas enggak ada kelanjutannya, ternyata suara perempuan yang lembut itu enggak ada di ruang tamu.

“Iya, Ma.”

Skakmat!

Aku langsung menegakkan punggung saat mendengar suara dari belakang. Lebih tepatnya, dari satu ruangan yang teras luarnya aku pijaki tadi. Setelah mengatur pernapasan, aku berbalik badan. Tepat di belakangku, di kamar yang jendela kayunya terbuka sempurna itu, seseorang tengah menyangga dagunya dengan tangan yang bertautan.

Ekor mata Bang Rendra menatapku tajam. Enggak lama setelah itu, dia menutup jendelanya. Tinggallah aku yang sedang menenangkan jantung yang berdebar-debar.

Memalukan!

Pintu utama terbuka lebar, memperlihatkan seseorang yang tengah bersedekap. Kali ini, Bang Rendra enggak memakai kemeja motif kotaknya seperti pagi, melainkan mengenakan kaus berwarna hitam.

“Masuk!” titah Bang Rendra seraya menggerakkan dagunya ke dalam rumah.

Aku menggaruk tengkuk yang enggak gatal sama sekali. Ritme debar jantungku bertambah. Aku malu, takut, dan entahlah ... yang pasti ingin segera menghilang dari pandangan Bang Rendra. Sayang, semua itu enggak mungkin.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang