Siap menuju ending?
***
“Rumahnya yang mana?”
“Ya, gue enggak tau.”
“Ya, elo tanyain, Markonah.”
Argh!
Kuremas ponsel yang sedari tadi berada dalam genggaman. Agak menyesal juga pas Riyan tiba di indekos aku langsung menceritakan pertemuan dengan Kak Djoana tadi. Hasilnya, aku diminta dia menelepon Kak Djoana untuk mengatur pertemuan.
Aku enggak langsung menuruti keinginan Riyan yang menyuruh mencari nomor ponsel Kak Djoana. Sebab, sore tadi, aku lupa meminta nomor ponsel Kak Djoana. Tante Lusi dan Tante Rima keburu datang. Ambyar, lah, susunan rencanaku sewaktu di rumah Om Hamied. Jadilah aku meminta nomornya kepada Bang Rendra. Ini semua entah bisa disebut rezeki atau kesialan karena sepulang kondangan malah kembali kelayapan.
“Enggak diangkat.”
“Sini hape lo.”
“Eh, mau ngapain?”
“Biar gue yang telepon. Gue mau mastiin. Alamat yang dia kirim itu gak lengkap.”
“Eh, enggak bisa. Lo telepon pake hape lo aja.”
Sejurus kemudian, Riyan turun dari motor untuk menelepon nomor Kak Djoana. Dia mondar-mandir di depan gerbang rumah sebelah. Tampaknya, Riyan mulai sewot karena air mukanya kecut sekali.
“Kampret!” makinya, “kalo tau bakalan celingukan gak jelas di jalan, gue mendingan tidur.”
Aku mencibir. “Disuruh siapa tadi maksa berangkat?”
Riyan enggak menjawab. Dia memasukkan ponselnya ke saku sweter seraya berjalan ke arahku. Lalu, dia menyalakan mesin motor, bertepatan dengan ponsel di saku piyamaku yang bergetar.
Saat Riyan hendak mengoper gigi dari netral ke satu, suara klakson yang berasal dari mobil hitam itu terdengar. Aku menepuk bahu kanannya, meminta Riyan jangan dulu tarik gas. Siapa tahu, si pengemudi itu Kak Djoana.
“Raina!”
Dugaanku tepat!
Aku bergegas turun dari motor, disusul Riyan. Kak Djoana meminta kami untuk mampir ke rumahnya yang berjarak enggak jauh dari sini.
Sebenarnya, waktu sudah larut malam. Besok, aku harus bangun pagi karena akan menjadi salah satu saksi yang menyaksikan mantan ijab qobul. Namun, Riyan malah menyetujui permintaan Kak Djoana.
***
“Widih, asyik banget, ya, jadi Kak Djo. Rumah gede, keluarga utuh, kerjaan tetap, gaji gede lagi. Tinggal dapetin cowok yang tajir melintir. Dan setelah dapet, jangan lupa ama gue, ya, Kak.”
Kak Djoana terbahak-bahak. Dia menyimpan tiga gelas minuman dan beberapa makanan ringan di meja ruang tamu. Ada segelas kopi Riyan, dua milk shake cokelat punyaku, dan rasa vanila kesukaan Kak Djoana.
“Aamiin. Tapi kalian ini apa-apaan, sih. Nggak usah berlebihan.”
Aku mengangguk-angguk. “Asal jangan dapet yang kayak Riyan, Kak. Udah sengsara, pelit, baham aweweeun (mulutnya kayak cewek; bawel) lagi.”
“Eh, itu mulut.” Riyan melotot.
Aku buru-buru mengacungkan jari tengah dan jari telunjuk. “Berjanda, Bang.”
“Bung bang bung bang! Emang gue Abang Sayang lo apa!”
“Kalian ini, dari dulu nggak pernah berubah apa? Kalo deket, ribut melulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Notifikasi Cinta (Tamat)
ChickLitJudul awal aku pake 'Dear, Mantan'tapi diganti jadi 'Notifikasi Cinta'. Happy reading ~ *** Raina tidak nyaman dengan hubungannya bersama sang pacar yang semakin hambar. Kurang berkomunikasi membuat hati kecilnya memberontak, ingin mengakhiri kisah...