Rasa Bersalah

56 10 5
                                    

Sesuai janji. 😬Tapi semalem aku ada kendala di sinyal. 🙏😥Jadi, baru bisa update. Maafkan.

Happy reading.

***

“Na, mau sampe kapan lo sama si bos boongin keluarganya?”

Kutatap Riyan yang tengah memainkan game di ponselnya. Kedua jempolnya lincah menyentuh keyboard. Sesekali, dia berdecak, berseru, bahkan mengomel enggak jelas.

“Gue enggak tau.”

“Jangan dilanjut kalo udah gak ada kepentingan lagi.”

“Iya. Yang ini gue tau.”

“Hubungan kalian udah terlalu jauh menurut gue. Semakin lama, semakin banyak orang yang kalian boongin. Dan lo bakalan dihantui rasa bersalah. Jangan mikirin duit doang.”

“Iya.”

“Gue itu kadang bingung. Cowok yang lo suka itu siapa? Lo masih gagal move on dari si Arkana atau udah mulai baper sama si bos?”

Aku terdiam untuk beberapa saat. Sebenarnya, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Terkadang, aku suka emosi kalau mendengar nama Arkana, mengingat dia, atau apa pun yang bersangkutan dengannya. Namun kalau waktuku padat, pikiranku sering teralihkan dari bayang-bayangnya.

Aku juga enggak takut lagi kalau berdekatan dengan Bang Rendra. Dia yang dulu kunilai arogan, perhitungan, dingin, kadang bawel, dan lain sebagainya terasa berbeda dengan sekarang. Entah itu karena aku sudah tahu latar belakang keluarganya meskipun enggak banyak, entah karena dia gulung tikar juga. Yang jelas, ada rasa kasihan walaupun dia sering bikin aku jengkel.

Perasaan terhadap Arkana dan Bang Rendra ini semacam perasaan apa, ya?

“Jangan keseringan ketemuan. Apalagi kalo lo sampe suka sama si bos. Sadar—”

“Idih, emang siapa yang suka ketemuan sama Bang Rendra di luar pertemuan sama keluarganya?”

Kusimpan ponsel di lantai. Lalu, kutatap Riyan yang masih asyik dengan ponselnya. Tiba-tiba ngomong seenak jidat. Merusak mood-ku saja!

“Gue cuman gak mau lo baper dan berakhir naksir orang yang salah, Markonah.”

“Nih, dengerin baik-baik, Riyandi ganteng karna salah satu alesan lo bisa ganteng yaitu karna lo Abang gue.” Aku membetulkan posisi duduk, lalu duduk tegak dengan kaki bersilang. “Gue enggak naksir Bang Rendra. Catet.”

“Bullshit! Naksir atau gaknya, lo gak bisa mutusin sekarang. Rasa suka itu bisa dateng karna terbiasa, Na. Hubungan pura-pura lo bisa lebih berwarna dibanding sama Arkana. Dari segi chat, ketemu, ngobrol, dan hal-hal kecil lainnya. Pasti lebih sering sama si bos, kan?”

Aku beranjak dari duduk. Kuambil paksa ponsel Riyan. Lalu, menyimpannya di belakang tubuh. “Jadi, ceritanya lo mau ngajakin gue ribut?”

“Ogah! Gue bukan banci yang suka ribut sama cewek.”

“Keseringannya, dari dulu, kita emang udah sering ribut, Riyandi!”

“Balikin dulu hape gue, Nana.” Riyan mengalihkan pembicaraan.

“No! Lo udah mancing emosi gue!”

Aku bergegas lari menghindari gapaian tangan Riyan. Tujuanku saat ini adalah kamar karena bantal, sepatu, dan kaus kakinya sudah dia lempar ke sembarang arah.

“Na, balikin! Gue mau WAR!”

“Yan?”

Sejenak, aku terdiam, kayaknya barusan ada yang memanggil Riyan. Riyan juga enggak jadi menghampiriku. Dia mematung enggak jauh dari ambang pintu menuju kamar. Namun, itu hanya tipu muslihatnya saja karena sejurus kemudian, dia berhasil mengambil ponselnya.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang