Mengubur Rindu

42 7 0
                                    

Hai! Maaf baru sempet update. Kemarin ada insiden yang bikin nyesek sampe ubun-ubun. 🙈🙈🙈

Happy reading. 🤗
Jangan lupa tekan vote-nya, biar aku semangaaat lanjut. Komen juga boleh banget.

***

“Rain, ada nasi.”

Aku bergegas mengusap sekitar bibir. Bisa-bisanya aku makan seperti anak kecil. Eh, masalahnya bukan itu, tapi bisa-bisanya si nasi bertahan menempel di sekitar bibir. Soalnya, sarapan sudah berlalu dari setengah jam yang lalu.

“Masih ada?”

“Bu—”

“Halah, modus! Mau cipok mah, tinggal cipok aja, Ndra. Nggak usah mengkambinghitamkan nasi,” celetuk Kak Djoana, sebelum akhirnya terbahak-bahak.

“Kak Djo,” tegurku. Dalam hal yang kotor-kotor, otak Kak Djoana memang satu server dengan Riyan.

Sumpah! Aku malu karena ditertawakan banyak orang. Di toko baru Bang Rendra ini, ada Riyan, Kisya, Dicko, Tante Lusi, dan si mamang tukang las. Untung si mamang lagi di luar, semoga saja beliau enggak mendengar.

“Gue serius.”

Refleks, aku menatap Bang Rendra. Kata “gue” yang dia ucap terdengar “asing”. Ini kali pertamanya aku mendengar Bang Rendra mengucapkan kosakata non formal.

“Bang, di sebelah mana, sih? Masih ada?”

“Di situ.” Bang Rendra menunjukku.

Aku bergegas memeriksa jumpsuit. Ternyata, memang ada beberapa butir nasi yang menyangkut di tali. Ya, ampun, ini memalukan!

“Mbak Lusi! Noh, si Rendra kode-kodean nunjuk-nunjuk dada si Raina!” teriak Kak Djoana, lalu terbahak-bahak lagi.

“Kak Djoana,” desisku, setengah geram.

“Berjanda, Na. Biar syaraf-syarat di tubuh nggak pada tegang.”

Beberapa detik lamanya, aku menekan kelopak mata kuat-kuat. Lalu, mengalihkan pandangan ke samping, di mana Bang Rendra sedang duduk sambil memijat pangkal hidungnya.

Sedari tadi, Bang Rendra mengutak-atik kabel terus. Tampaknya, dia akan mengatur alur listrik di toko. Lakban hitam, gunting, dan beberapa macam alat lain berserakan di lantai sekitarnya.

Aku melirik Tante Lusi yang sedang menggeleng pelan sambil tersenyum simpul.

“Dhisa, kamu itu dari tadi kalau nggak iseng sama si Kisya dan si Dicko, pasti Raina dan Narendra yang kamu godain.”

“Itu efek ngejomblo terlalu lama, Tan. Jadi, kita maklumin,” sahut Riyan.

“Saya setuju dengan pemikiran cerdas kamu, Yan.”

Tatapanku beralih kepada Bang Rendra. Dia beranjak dari duduknya. Namun, Bang Rendra bersikap cuek saat Kak Djoana melayangkan kepalan tangan, disertai tatapan tajam.

“Wah, kalo Kak Djoana jomlo, ada kesempatan buat gue kali, Kak,” sambung Dicko, “nanti, aku manggil ke Tante Lusi bukan tante lagi, tapi mbak, kayak Kak Djoana. Boleh, kan, Tan?”

Tante Lusi tertawa kecil.

“Idih, jangan mau sama si Dicko, Kak! Tante juga jangan kasih restu.”

“Kenapa, lo? Syirik apa cemburu?”

“Amit-amit jabang bayi kalo gue cemburu. Nih, dengerin, gue juga nggak syirik, gue udah punya cowok ganteng, keren, tajir, lebih dari lo. Tapi gue kasian sama Kak Djoana semisal kalian pacaran.”

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang