Patah dan Jatuh

41 9 0
                                    

Aku speechless. Otakku dipaksa berpikir jernih setelah mendengar sedikit kabar yang enggak enak didengar. Hatiku terasa ditikam, tapi di satu sisi, bibir ini dipaksa tersenyum sehangat mungkin.

Tante Lusi memberitahuku kalau Arkana dan Bang Rendra itu sepasang adik kakak sambung. Tante Ardina menikah dengan Om Hamied ketika Bang Rendra duduk di kelas enam SD. Sama seperti Arkana yang baru duduk di kelas satu SD. Lebih tepatnya, beberapa bulan setelah mereka resmi bercerai.

Kalau boleh menebak, Bang Rendra belum bisa menerima takdir. Keluarga kecilnya hancur sedari dulu. Nasib Bang Rendra enggak berbeda jauh denganku, broken home. Makanya, dia enggak bisa bersikap hangat dengan oma, Om Hamied, Tante Ardina. Dan sepertinya, di balik sikap dingin Bang Rendra, ada luka lama di hatinya yang sampai saat ini belum mengering.

Hanya saja, kami mempunyai cara berbeda dalam mengatasi masalahnya. Aku dan Riyan dipaksa mandiri dan selalu ceria setelah kepergian Ayah. Kami juga enggak sampai kekurangan kasih sayang karena keluarga Kak Djoana selalu memberikannya.

Lalu, sesak terasa di sekitar dada saat teringat sebegitu hambarnya hubunganku semasa berpacaran dengan Arkana. Aku sampai enggak hafal silsilah keluarga dia. Siapa orang tuanya, saudara, atau lain sebagainya. Karena selama ada panggilan dari sekolah yang mewajibkan orang tua siswa datang, bukan Om Hamied atau Tante Ardina yang datang.

Ah, atau akunya saja yang pelupa.

***

“Setelah Arkana dan Annara resmi menikah, Oma harap kamu pun segera menyusul, Narendra.”

Aku melirik oma Bang Rendra yang tengah duduk anggun, enggak jauh dari Tante Lusi. Beliau menatap cucunya yang duduk di sampingku tanpa seulas senyum.

Saat ini, para tamu undangan enggak sebanyak tadi. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu-lalang. Kebetulan, keluarga mempelai perempuan pun sudah pulang sebagian.

“Do'akan saja, Bu. Semoga Rendra dan Raina berjodoh, supaya mereka segera sah sebagai suami istri.” Tante Lusi menjawab seraya mengusap pelan punggung tanganku.

Ada secercah harapan yang kutangkap dari sorot teduh Tante Lusi. Senyuman hangatnya menggetarkan jiwaku. Aku semakin merasa enggak nyaman berada dalam lingkaran keluarga Bang Rendra.

Namun, aku juga enggak habis pikir dengan Tante Lusi. Bisa-bisanya beliau bersikap ramah dan hangat kepada keluarga mantan suaminya. Terbuat dari apa hati wanita itu? Dan keluarga dari Om Hamied pun tampaknya bersikap hangat. Hanya oma saja yang agak berbeda.

“Kalau sudah sama-sama cocok, kenapa kalian nggak menikah secepatnya saja?”

Jantungku bergemuruh saat mendengar penuturan Arkana barusan. Kedua mataku memanas ketika tatapan kami berserobok. Aku sadar, sedari tadi, dia memang belum memutuskan kontak matanya terhadapku.

“Nah, betul. Niat baik itu harus disegerakan.” Tante Ardina menimpali ucapan putranya dan langsung disetujui pihak keluarga.

“Nah, terus mau kapan nyusulnya, nih? Mas Rendra, kenapa nikahnya bareng aja sama Mas Arkana, biar seru,” celetuk gadis manis seusia Dicko. Soal nama, aku lupa.

“Hus, kamu ini kalau bicara ndak disaring dulu.”

“Eum, Semuanya, saya izin ke toilet sebentar, ya?”

***

Aku enggak mungkin bisa menangis secara lepas, apalagi di tempat ramai seperti sekarang. Acara masih belum selesai. Kalau aku pergi begitu saja dari pesta, itu sama saja dengan mempermalukan Tante Lusi, beserta Bang Rendra. Namun kalau masih di sini, artinya aku akan menyakiti hati banyak orang. Terutama hati sendiri.

“Apa kabar?”

Aku membalikkan badan dan mendapati Arkana tengah tersenyum. Kabarku baik, tapi entah dengan kabar hati. Ada beberapa perasaan yang berkecamuk di sana. Di satu sisi, aku benci dengan pertemuan yang dirindukan ini. Namun, di sisi lain, aku sakit karena harus menekan luka yang kembali menganga.

Ar, aku kangen. Aku baru sadar kalau rasa ini itu berbahaya. Seharusnya, dulu kita enggak dekat saja supaya saat dipertemukan seperti sekarang, aku enggak kayak orang pesakitan.

“Aku baik. Jauh lebih baik.”

“Aku seneng bisa ketemu dan ngobrol sama kamu lagi.”

Aku juga.

“Jujur, semenjak kita putus, aku sulit terima keputusan yang kamu ambil. Tapi mungkin ini cara terbaik Tuhan supaya kita bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi. Karena pada dasarnya, cinta itu nggak selalu saling memiliki, tapi inti dari cinta itu saling mengikhlaskan, kan? Dan aku ... aku bakal ikhlasin kamu dengan Kak Rendra.”

“Ar—”

“Setelah ini, hati kita akan baik-baik aja, kan, Na?”

Kedua mataku memanas. Ada rasa ngilu yang menjalar di hati. Namun, aku segera mengerjap-ngerjapkan mata supaya enggak ada bulir yang menetes dari sudutnya.

Kuteguk ludah sekadar membasahi tenggorokan yang terasa kering. Pernapasan pun kuatur secara perlahan. Pokoknya, aku enggak boleh terlihat menyedihkan di depan Arkana.

“Raina?”

“Ya, kita bakal baik-baik aja. Buktinya, aku bisa baik-baik aja tanpa kamu, kan?”

Sial! Suaraku malah terdengar parau.

“Dan mungkin, sebentar lagi aku sama Bang Rendra bakal nyusul kamu juga.”

Arkana mengernyit. “Maksud kamu?”

“Dalam waktu cepat, aku sama Bang Rendra bakalan nikah.”

Aku menunduk. Mungkin, ini salah satu cara Tuhan supaya Arkana bisa cepat kulupakan. Meskipun akhirnya aku dan Bang Rendra entah akan menikah atau enggak.

Pepatah bilang, jangan mengawali sesuatu dengan kebohongan karena takut ketagihan. Aku akui itu benar adanya. Dan hampir di setiap harinya, aku selalu menciptakan kebohongan-kebohongan baru untuk menipu orang lain. Ini semua gara-gara Bang Rendra dan imanku yang lemah.

Arkana mengayunkan langkahnya untuk mendekatiku. Kami berdiri saling berhadapan. Ada sorot kecewa dan terluka yang terpancar dari tatapan teduhnya. Suatu gambaran yang enggak bisa dia sembunyikan dariku.

“Dengan siapa pun kita bersanding, kita masih bisa menjalin hubungan sebagai ipar yang baik, kan?” tanya Arkana seraya mengusap pelan rambutku.

Aku mengangguk seraya tersenyum kecil, menekan sakit karena hati tercubit pertanyaan Arkana. Bagaimanapun, aku enggak pernah punya pemikiran akan menjadi saudara ipar dengan sosok bergelar mantan.

“Ar?” Dengan cepat, aku menggapai tangannya. “Apa masih ada kesempatan lagi untuk kita?” tanyaku dengan suara parau.

Aku enggak mau menyesal untuk yang kedua kalinya. Biarkan saja dunia menertawakanku karena tadi berpura-pura tegar.

“Ada. Tapi mustahil aku lakuin. Semua memang belum terlambat, tapi aku nggak bisa ngecewain perasaan banyak orang. Kamu tau, kan, perasaan yang paling berbahaya itu perasaan apa? Kecewa, Na. Aku pernah naruh harapan sama seseorang, tapi aku malah kecewa karena kenyataannya nggak sesuai ekspetasi. Makanya, sebisa mungkin aku nggak mau naruh harapan lagi sama orang lain. Aku sadar, berharap kepada selain Allah hanya akan membuat aku kecewa di suatu saat.”

Jawaban Arkana memorak-porandakan hatiku. Dia benar dan aku yang salah. Di saat dulu dia memintaku kembali, aku malah mengulur-ngulur waktu hanya karena ingin terus diperjuangkan.

“Aku duluan.”

“Ar ....”

Langkah Arkana terhenti. Mata teduh yang aku rindukan itu menatapku. Lekat sekali.

“Semoga kalian bahagia, ya. Sukses selalu”

“Kamu juga,” jawab Arkana seraya tersenyum kecil.

Ar, bisakah aku bersikap baik-baik saja setelah hati ini patah dan jatuh dalam satu waktu?

***

Ah, ngebut nulis jadi juga. Wkwkwk Moga suka.

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang