Sia-sia

39 8 0
                                        

Aku enggak bisa menahan senyum saat perasaan haru menyeruak hati. Tuhan memang Maha Baik. Di saat aku dan Riyan mencarinya sampai mempertaruhkan pekerjaan, haasilnya malah nihil. Namun sekarang, dengan mudahnya kami dipertemukan

“Raina?”

Aku mengangguk antusias. Kami berpelukan. Ya, Tuhan, rasanya bahagia sekali dipertemukan dengan Kak Djoana.

“Rain, Dhisa, kalian saling mengenal?”

Pelukan pun terlepas. Lalu, Kak Djoana menjawab, “Ya, kenal, lah, Ndra. Raina itu gadis yang sering gue ceritain ke elo.”

Tunggu! Kenapa mereka .... “Kak Djo kenal Bang Rendra?”

“Dia itu keponakan aku, Na.”

Duniaku rasanya terjeda sebentar. Aku belum bisa memahami kalimat yang diucapkan Kak Djoana. Kejutan apa lagi ini, Tuhan?

“Sebentar, maksud Kak Djo, Bang Rendra itu keponakan Kakak?”

Kak Djoana mengangguk dua kali.

“Kok, bisa?”

“Ya, bisa, lah. Aku adiknya Mbak Lusi.”

“Tapi, aku ngerasa asing sama Tante Lusi. Aku ngerasa, sebelumnya belum pernah ketemu sama beliau.”

“Ya, emang Mbak Lusi sama aku pisah, Na. Kamu sama Riyan kan nggak pernah ikut Kakak kalo ke Jakarta.”

Benar juga.

“Tadi maksud ‘kok bisa’ itu apa, Rain?”

“Maksud saya, kok, Abang ... duh, kenapa Abang enggak bilang ke saya kalau Abang kenal sama Kak Djoana?”

Hampir saja aku keceplosan karena hendak mengajukan komplain. Jujur saja, kabar hubungan darah antara mereka masih sulit kupercaya.

“Ya, mana saya tau. Kamu tidak pernah bilang.”

“Sewaktu saya minta tolong ke Abang buat ngejar mobil, itu saya mau ngejar Kak Djoana.”

Cerita pun mengalir saat Kak Djoana bertanya telah terjadi apa saja di antara kami. Kak Djoana tertawa mendengar ceritaku saat aku diomeli Bang Rendra karena kami putar-putar enggak jelas. Sementara dia enggak mau mengertikan kekesalanku karena kehilangan jejak Kak Djoana.

“Bahkan, Kak, aku dan Riyan hampir dipecat.”

Entah karena merasa akrab dengan Kak Djoana atau karena enggak sungkan lagi dengan Bang Rendra, aku jadi berani begini. Dalam artian, berani mengeluarkan kekesalan yang mengendap di dada. Aku terlalu yakin kalau Kak Djoana akan berada di pihakku jika sewaktu-waktu ada masalah dengan Bang Rendra.

“Kapan saya begitu?”

Aku meringis seraya mengusap lengan. “Bukan dipecat, tapi dimarahin.”

“Itu karena kamu dan Riyan tidak tau diri. Sudah dikasih cuti satu minggu, tapi malah ngalap sampai hari Senin.”

“Ya, tapi, Bang—”

“Oke, stop, ya. Giliran gue yang nanya. Kalian kok, saling kenal? Dari percakapan yang gue tangkap, kalian pacaran karena terlibat cinlok, ya?”

Aku ingin berkilah, tapi enggak tahu bagaimana caranya. Padahal, seharusnya aku berkata apa adanya. Toh, ini adalah malam terakhirku menjadi pacar bohongan Bang Rendra.

Baiklah, aku akan menceritakan semuanya. Aku akan meminta Kak Djoana tutup mulut. Namun, lidahku rasanya kelu sekali.

“Nah, pada diem. Jadi, kalian beneran pacaran?”

Notifikasi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang