28. Panglima

32 6 1
                                    

Mereka ber-enam duduk melingkari meja bundar diatas pasir, Jatar terlihat memimpin rapat penting ini.  Raut wajahnya tidak seperti biasa, auranya pun langsung berubah saat memulai rapat ini. Ia terlihat serius dan menakutkan karena sorot matanya yang tajam bagai mata panah yang diterbangkan ke udara lalu tertancap tepat pada bidikannya.

"Sudah diputuskan, lusa nanti kita akan langsung menyerang mereka menggunakan jalur langsung ke langit. Walaupun pasti kita akan terlacak oleh musuh, tapi ini lah jalan tercepat untuk melakukan penyerangan. Malah menurutku sangat bagus jika mereka mengetahui kita akan menyerang secara terang-terangan, kita bisa menunjukkan perbedaan besar antara kesatria sejati dan seorang pengecut." Ucap Jatar dengan tegas.

"Tanamkan rasa optimis dan gairah untuk merebut kemenangan pada pasukan kita. Tak masalah seberapa banyak pasukan Venus, mereka hanyalah penghianat bagi kerajaan. Dan kita harus menang dengan segenap kekuatan yang sudah kita latih selama ini." Lanjut Jatar

"Benar sekali pangeran." Ujar Kakek Sura yang duduk diantara Sina dan Satur

"Setiap satu prajurit disini memiliki kekuatan sama dengan sepuluh prajurit. Mereka tangguh, berpengalaman, murid pilihanku dan mendiang Raja Hatar, mereka juga selalu berlatih dengan keras. Lalu yang terpenting adalah kesetiaannya yang begitu tinggi pada sang raja membuat pasukan khusus ini menjadi pasukan yang kuat. Dengan pasukan kita yang hanya berjumlah 500 orang itupun sudah cukup untuk mengalahkan pasukan Venus yang berjumlah 10.000 prajurit itu." Lanjut Kakek Sura membangkitkan kembali semangat membara dalam dada mereka

Setelah mendengar perkataan dari Kakek Sura, Jatar mengambil sesuatu dari kolong meja dan meletakkannya keatas meja. Terlihat sebuah gulungan kertas yang besar seperti sebuah peta, ia menatap semua orang secara bergantian lalu membuka peta itu perlahan-lahan sampai melebar.

"Baiklah, ayo kita mulai rencanakan strategi. Dan hasilnya akan Satur umumkan pada pasukan kita nanti."

"Ya." Ucap yang lainnya serentak.

...

Mata air yang mengalir melewati lubang bambu itu mengisi kolam kecil yang dipenuhi ikan hias yang cantik. Gemercik airnya membuat pendengaran dan hati jadi tenang, semua orang sudah merapikan diri mereka dan siap-siap untuk makan. Tapi, Sina masih terjaga dalam diamnya menatap kearah langit senja bermega jingga. Suara riuh, canda tawa, dan decitan senjata terdengar samar ditelinga Sina. Ia memikirkan kerajaannya diatas sana sampai terbawa dalam lamunan. Bahkan beberapa prajurit yang sekedar lewat dan memberi hormat dan salam pada Sina pun tak ia gubris. Hati dan pikirannya sudah berada diatas langit untuk kerajaan dan semua rakyatnya. Putri itu menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia menatap kesemua arah lalu menggerakkan kepalanya mencoba untuk kembali dalam kesadaran 100%. Tak hanya itu, Sina pun langsung membasuh wajah lesunya dengan air yang mengalir dari bambu. Rasanya sangat menyegarkan saat wajah sudah terkena air yang dingin, bahkan pikiran pun seakan-akan menjadi jernih dan tenang kembali. Sina langsung berdiri tegak dan tersenyum kembali untuk memulai aktivitasnya, namun belum satu langkah ia meninggalkan tempat itu, Sina dibingungkan oleh gerak-gerik Jena yang mencurigakan. Jena terlihat berjalan perlahan berjingjit dengan mata yang memantau kesemua arah, ditangannya juga terlihat ia memegang sekantung karung kecil yang biasa digunakan untuk membawa makanan. Sina yang penasaran dan ingin tau kemana prajurit itu akan pergi langsung mengikuti perempuan itu yang hampir menghilang dari pandangannya.

Jena menghela nafas lega saat dirinya berhasil mengendap-endap dan sudah hampir sampai digua tempat dimana pintu keluar berada didepan sana. Jena berdiri tegak dihadapan batu besar dan terlihat mengalirkan kekuatan ketangan kanannya yang sedari tadi menyentuh batu itu. Dengan ajaib, batu besar itu langsung bergeser membukakan jalan untuknya. Bergegas Jena langsung berjalan menyusuri gua dengan perasaan aman, hingga ia tidak menyadari bahwa Sina sudah mengikutinya dari belakang. Tanpa keraguan sedikitpun, Sina pun ikut keluar menyusuri gua yang gelap itu. Perlahan tapi pasti, sebuah cahaya terang terlihat menyorot didepan sana. Tanpa membuang waktu lagi, Sina mempercepat langkahnya dan keluar dari gua. Ia melihat hamparan padang rumput dan bunga-bunga yang indah diluar sana seperti pertama kali saat ia mendatangi tempat ini bersama Satur. Ia menatap kesetiap sudut mencari keberadaan Jena sampai ia menemukan bahwa perempuan itu terlihat berjalan menuju kearah hutan lebat.

Moondom : Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang