21. Panglima

49 6 1
                                    

Seorang pria tua dengan dua prajurit dibelakangnya terlihat keluar dari gua yang tertutup daun rambat tersebut. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia sudah berumur dengan uban berwarna putih dirambut dan janggutnya. Ia menatap Satur dan Sina secara bergantian dengan senyum yang tak henti-henti siap melayani.

"Selamat datang,tuan putri. Senang bertemu dengan anda."

"Begitu juga dengan ku." Ucap Sina

"Perkenalkan dia adalah tetua disini, namanya Kakek Sura. Dia keturunan manusia bumi dan langit. Dia adalah temannya ayahmu." Ucap Satur

Sina terlihat senang saat mendengarkan penjelasan dari Satur, seperti seorang anak yang sudah diberikan hadiah oleh ibunya, ia terlihat bersemangat untuk memasuki gua.

"Mari ikuti saya." Ucap Kakek Sura dengan lemah lembut.

Gua itu terlihat biasa saja, gelap dan lembab. Tapi jika terus memasukinya, maka kita bisa melihat sebuah kediaman yang begitu indah. Lapangan latihan prajurit yang luas dengan danau angsa yang berkilau jernih. Ada banyak tenda disana, dan prajurit dari kalangan pria dan wanita yang tengah berlatih memanah dan seni bela diri dalam memainkan pedang. Ada juga beberapa orang yang melatih kekuatan petir dan anginnya dibantu oleh orang yang terlihat lebih senior dan galak dari mereka. Saat Sina dan Satur melewati mereka, semuanya langsung menundukkan kepalanya sambil menangkupkan tangan kanan yang dikepal kedada mereka.

"Hormat untuk Tuan Putri dan Panglima." Ucap orang-orang.

Sina terlihat agak risih diperlakukan hormat oleh orang-orang yang sebelumnya belum ia kenal. Tapi, ia mencoba untuk menunjukkan wibawanya dan tersenyum manis dihadapan semua orang. Sampai akhirnya, pria tua itu mengarahkan Sina dan Satur memasuki sebuah tenda yang lebih besar dibandingkan tenda-tenda yang lain.

"Berbaringlah,biar kami merawat luka-luka kalian dulu." Ucap Kakek Sura yang sudah sampai duluan.

Ternyata tenda ini adalah tenda medis yang dipenuhi dengan peralatan kesehatan dan obat-obatan herbal. Sina terlihat canggung dan menatap Satur, Satur yang melihatnya langsung memberi isyarat 'ikuti saja' dengan tangannya yang menjurungkan Sina untuk berbaring. Seorang tabib wanita pun menghampiri Sina dan mengajaknya untuk berbaring di kasur yang sudah disediakan untuk diperiksa dan diobati. Begitu pula dengan Satur. Mereka berdua sudah berada di kasur yang terpisah 50 cm dan dihalangi oleh kain yang menyekat ditengah-tengah mereka.

"Baiklah kalau begitu, saya akan menyiapkan makan malam untuk tuan putri dan panglima."

"A-terima kasih." Ucap Sina

"Saya permisi."

Kakek Sura berjalan keluar dengan cara mundur perlahan tanpa membalikan tubuhnya dihadapan Satur dan Sina. Ini adalah sebuah tradisi mereka untuk menghormati pangkat yang lebih tinggi.

"Satur." Panggil Sina dari balik tirai

"Hmm." Sahut Satur

"Tes saja." Ucap Sina

"Apa-apaan kau ini memanggil namaku tanpa alasan."

"Memangnya tidak boleh?."

"Apapun untukmu tuan putri." Ucap Satur dengan nada kesal mengejek.

"Pemarah." Gumam Sina

"Aku dengar."

"Tidak masalah." Ucap Sina sinis

"Aaaa." Teriak Satur tiba-tiba yang mengagetkan se-isi ruangan terutama Sina. Ia langsung beranjak dari kasurnya ingin memantau apa yang telah terjadi dan membuka tirai yang menghalangi penglihatan Sina. Ia menatap Satur penuh kekhawatiran.

"Ada apa?." Tanya Sina

"Saya tidak tahu, tiba-tiba saja panglima berteriak." Ucap tabib laki-laki yang merawat Satur.

"Hanya tes saja." Ucap Satur sambil tersenyum sinis berhasil membalas Sina.

"Ih, kau ini." Sina langsung menghampiri Satur dan memukuli dadanya beberapa kali penuh kekesalan.

"Aw, ini benar sakit." Ucap Satur meringis kesakitan. Mendengar itu Sina langsung menghentikan pukulannya yang bertubi-tubi, ia menatap Satur tajam kesal beberapa saat sebelum ia kembali ke ranjangnya dengan marah.

"Maafkan aku." Ucap Satur sambil tertawa kecil

"Tentu saja tidak." Ucap Sina yang langsung berbaring menyamping membelakangi Satur.

"Dasar perasa. " Ucap Satur yang sudah jadi kata khasnya untuk mengejek Sina yang sudah terlanjur marah

Disisi lain, ditengah-tengah pertengkaran kecil keduanya ini ada para tabib yang terlihat kebingungan harus mulai darimana untuk mengobati mereka, karena Satur dan Sina terlihat sama-sama susah diatur. Ditambah pertengkaran kecil yang membuat para tabib jadi canggung berada di ruangan ini.

...

Gena menghampiri Venus yang tengah berbaring di kasur besarnya yang mewah berlapis berlian hitam. Kamarnya didominasi dengan warna hitam dan merah, dekorasi yang elegan dan terkesan misterius.

"Kau ini, bukannya menyiapkan pasukan untuk memperluas wilayah kerajaan dan bersiap untuk menyerang musuh kau malah berdiam diri di kamarmu. Apa yang sedang kau pikirkan? Sina?!."

Venus yang sedari tadi menatap atap kamarnya langsung melirik Gena dengan tatapan yang dingin.

"Ada masalah?."

"Ya tentu saja!. Kita sudah berhasil menguasai kerajaan ini Venus, kau sebagai raja jangan seperti ini."

"Kau tidak merasa apa yang aku rasa adikku." Ucap Venus yang beranjak dari kasurnya menuju kesebuah lukisan yang terpampang di dinding kamarnya. Ya, lukisan wajah perempuan yang bernama Sina.

"Entah kenapa?, Aku benar-benar mencintainya. Orang seperti aku?, merindukan wanita seperti dia?. Hatiku sakit saat dia meninggalkan ku, anggur yang aku minum pun bahkan rasanya jadi tidak enak. Aku sedang jatuh cinta Gena."

"Kau tidak mencintainya, cinta bukanlah seperti itu. Kau hanya... "

"HANYA APA?!."

"TIDAK ADA CINTA. BAHKAN JIKA IYA KAU BENAR-BENAR MENCINTAINYA, KAU TAK AKAN MENDAPATKAN APAPUN DARI SINA KECUALI HANYA KEBENCIAN. KAU INI ORANG JAHAT DIMATANYA." Ujar Gena agak berteriak

"BERCERMINLAH TERLEBIH DAHULU."

"APA? Ada masalah apa kau denganku?."

"DIAMLAH GENA!. Kau yang tidak mengerti soal cinta, jangan menasihatiku. Kau bahkan mengkhianati suamimu yang baik itu. Siapa yang penjahat disini?. Setidaknya aku langsung menusuk dia dari depan tidak ada kebohongan dalam diriku, tidak sepertimu yang berpura-pura mencintainya padahal tidak sama sekali."

"Apa maksudmu? Kau menyalahkanku atas pengorbanan yang aku lakukan untuk ayah kita?. Apa yang kau maksud itu!?." Tanya Gena yang mulai tersinggung

"Kau mengerti apa yang aku maksud, kau tau itu. Kau sudah mengkhianati Hatar, lelaki yang begitu mencintaimu, yang cintanya kau balas dengan api pengkhianatan, ia percaya padamu tapi kau membohonginya. Kau yang penjahat. Aku berbeda dengan mu, kau tak tau apa-apa soal percintaan, Gena. Dan kau malah ingin mengajariku soal cinta?. Yang benar saja." Ujar Venus meremehkan adiknya.

Venus keluar dari kamarnya dengan angkuh, ia sepertinya tidak ingin berada dikamar itu lama-lama, wajahnya terlihat muak saat keluar dari kamar bahkan ia tidak peduli dengan Gena yang merasa tersinggung dengan ucapan Venus yang tajam dan menyakitkan.

"Padahal aku melakukan semua ini demi kita. Demi dendam kita, setidaknya hargai aku." Gumam Gena

Moondom : Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang