31. Panglima

11 3 0
                                    

Jena meringis kesakitan dibawah hujan gerimis yang menyentuh luka sayatan di dadanya yang tak begitu dalam namun lebar. Ia kesulitan untuk bangkit, nafasnya tak beraturan, tangannya mencengkram dedaunan yang berserakan disekitar tubuhnya untuk menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka itu. Mata Jena terus menatap langit sembari menahan kesakitan nya. Ia harus tetap bertahan dan kembali hidup-hidup untuk memeriksa keadaan Sina dan Taiga apakah sudah selamat dari kejaran Venus?. Tapi apalah daya, luka nya yang lebar membuat Jena tidak bisa bergerak dengan bebas, luka yang sudah Venus berikan padanya membuat pakainya robek dan berlumuran darah. Jena sesekali menatap sekelilingnya berharap ada sesuatu atau seseorang yang bisa membantunya. Hingga terdengar suara langkah sepatu kuda yang mendekat menuju jalurnya. Jena yang belum pulih pun terpaksa harus bangkit perlahan-lahan dan meraba-raba sekelilingnya mencari pedangnya yang terjatuh saat ia berduel dengan Venus tadi. Jena berpikir bahwa kedua prajurit bawaan Venus kembali datang dan akan membawanya pergi atau lebih parahnya akan membunuh dirinya ditempat. Setidaknya ia harus melakukan perlawanan dan melarikan diri untuk sekali saja memeriksa keadaan Sina dan Taiga sebelum ia mati terbunuh. Itulah yang ada dalam benak Jena saat ini. Sambil meneguk salivanya, Jena sudah menyiapkan dirinya dan berdiri di topang oleh pedangnya yang terlihat bergetar saat Jena menancapkan pada tanah karena saking kedinginannya dan lemahnya tubuh Jena saat ini.

" Ayo Jena, sekali lagi." Gumamnya

Namun, saat wujud dari pengendara kuda itu terlihat. Bukannya diri yang bersiap untuk menyerang orang-orang itu melainkan senyuman kecil yang langsung terpancar dari bibir Jena. Ekspresinya terlihat lega setelah melihat Satur dan Jatar yang datang dan bukan dua prajurit Venus.

" Pangeran, Panglima. Syukurlah, To..tolong selamatkan Putri Sina." Ucap Jena sebelum ia kembali terjatuh ketanah dan kehilangan kesadarannya.

" JE..JENAAA..." Itulah suara yang terdengar samar-samar oleh Jena sebelum pandangannya kabur menjadi hitam dan pipinya yang menyentuh tanah.

...

Mata yang tertutup indah dihiasi bulu mata lentik yang lebat hitam atas bawah dan alis yang rapih terbentuk simetris. Diatas kasur sutra yang hangat, terdapat seorang gadis cantik yang tengah tertidur diatasnya dengan gaun biru langit yang indah dan bersinar, rambutnya yang terurai indah dihiasi bunga mawar putih di telingan kirinya membuat gadis itu terlihat makin cantik saja. Wajahnya yang tersorot sinar matahari membuat siapapun akan langsung terkagum-kagum melihatnya. Gadis itu terlihat sangat bagus dengan tampilannya yang sudah dipoles bak bidadari surga. Ya, itulah kecantikan yang terpancar dari wajah Sina yang tengah tertidur diantara banyaknya bungan mawar putih yang bertaburan di atas kasurnya. Lilin aromaterapi menambah ketenangan ruangan yang mewah dan luas. Seorang lelaki dengan pakaian serba hitam dengan sedikit corak merah bata garis-garis di lengan bajunya yang panjang datang menghampiri Sina sembari membawa satu buket bunga mawar merah yang harum dan segar seperti baru di petik dari pohonnya. Pria itu tersenyum sembari duduk perlahan disamping Sina.

"Cantik sekali." Gumamnya.

Bersamaan dengan itu, tubuh Sina mulai bergerak semu dan matanya mulai terbuka perlahan. Tangan kanannya menutup cahaya matahari yang menyorot langsung kematanya, sesekali ia meringis kesakitan karena bekas luka yang ada pada tangan, kaki, dan bagian tubuh lainnya, juga beberapa memar biru yang ada ditangannya. Sina duduk dan melihat sekeliling ruangan, ia tidak merasa heran karena ini adalah kamarnya yang selalu ia tempati dulu. Ia sudah berada di istana Moondom, nostalgia yang menyakitkan apalagi Sina sudah menyadari bahwa Venus sudah berada disampingnya sedari tadi.

"Berhenti menatapku seperti itu. Aku merasa jijik." Ucap Sina dengan nada tidak suka.

"Aku makin menyukaimu dan akan tetap menatap mu walaupun kau berkata seperti itu padaku." Ujar Venus sembari membelai rambut Sina yang berkilau.

" Jangan sentuh diriku dengan tangan kotor mu itu!." Ucap Sina yang sudah terbawa emosi

"Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu."

Mendengar penolakan Sina, Venus langsung menggeram meremas tangannya kesal. Namun, seperti nya ia tak ingin merusak paginya yang indah dengan memulai pertengkaran dengan sang putri. Venus menghela nafas panjang sabar, ia kembali tersenyum lebar dan mulai beranjak dari atas kasur.

"Baiklah, kekasihku." Ujar Venus sembari menaruh buket bunga mawar merah itu disamping Sina. Namun dengan cepat Sina langsung beranjak dari duduknya dan berlutut diatas kasur mengambil buket itu lalu melemparkan bunganya tepat kewajah Venus.

"Ambil ini!!."

"Sudah cukup hadiah yang kau berikan padaku, bahkan warna merah bunga itu pun tak semerah warna darah yang aku lihat ketika kau membunuh orang-orang yang aku cintai." Ucap Sina parau.

"Tidak tahu malu!. Pergi dan jangan perlihatkan wajah mu padaku. Aku sangat membencimu."

"SIAPA KAU MENYURUHKU SEENAKNYA DAN BERANI MELEMPARI SESUATU KEWAJAHKU ?."  Teriak Venus memenuhi seisi ruangan.

"Ingat putri, jika kau tak ingin melihat orang terkasih mu pergi lagi maka sedikit sopanlah pada calon suamimu ini." Ucap Venus sekali lagi mengancam Sina.

Sina tak menjawab, ia langsung terdiam dan mengangkat wajahnya kelain arah menahan air matanya yang sudah terbendung banyak di kedua kelopak matanya yang siap untuk tumpah kapan saja.

"Bagus." Kata Venus sambil menepuk-nepuk puncak kepala Sina.

"Aku akan menunggumu diruang makan. Cepatlah bersiap, jangan buat calon suamimu ini menunggu sampai bosan."

Sina tetap tak menggubris perkataan dari Venus. Mulutnya terlihat bergetar karena amarah yang sudah ia tahan sedari tadi.

"Bantu calon istriku bersiap-siap." Perintah Venus pada dayang-dayang yang sudah menunggu di depan pintu kamar Putri Sina.

"Baik yang mulia. " Ucap salah seorang dayang cantik berambut hitam panjang ikal sambil tersenyum kecil. Lalu gadis itu pun menatap Sina dengan tajam hingga iris matanya berubah mengecil seperti mata ular dan lidah bercabang yang menjulur kedepan.

Moondom : Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang