Karina mengerjab dengan setitik air mata menuruni sudut matanya. Hatinya remuk redam, menyaksikan pelaminan sepasang insan yang sedang dimabuk cinta. Memang tidak ada yang salah jika yang menjadi pengantin laki-laki itu, bukan suaminya.Namun angan tetaplah jadi angan, nyatanya pada akhirnya kenyataan pahit begitu keras menamparnya. Sesuatu yang teramat ditakutkannya benar terjadi. Bahawa dia, laki-laki yang berstatus Ayah dari janin dalam rahimnya berada di atas sana. Mengobral senyum menawan dan bergandeng mesra dengan istrinya yang kedua.
"Kenapa masih disini? Ayo kesana! Karina yang aku kenal gak lemah kayak gini. Karina sahabat aku kuat. Kamu liat dia, Rin? Laki-laki yang pamit kerja di luar kota tapi malah berdiri di pelaminan sama perempuan lain. Buka mata kamu, Rin!"
"Aku gak bisa Lun." lirih Karin membuat Luna berdecak.
"Apa yang kamu gak bisa? Kamu mau jadi perempuan lemah yang diem gitu aja dicurangi? Kamu nanggung luka kamu sendiri, sedangkan bajingan itu seneng-seneng sama istri barunya? Inget kandungan kamu Rin. Janin kamu masih butuh Ayah."
"Aku bakalan besarin anak aku sendiri, Lun. Aku bisa! Biarin aja kalau Mas Anggara ngelakuin apapun asalkan.."
Perkataan Karina terhenti, bersamaan dengan pemandangan yang didapatinya di depan sana. Dapat Karina lihat jika mertuanya mulai menaiki pelaminan bersiap berfoto bersama pengantin. Tapi bukan itu fokusnya. Karina lebih berfokus pada perempuan dan laki-laki paruh baya yang mengenakan pakaian selaras dengan kedua mertuanya.
Karina terkekeh lalu mengusap kasar air matanya. Benar, tidak seharusnya dia hanya diam. Penghianatan suaminya memang menyakitkan. Namun menyaksikan orangtua kandungnya sendiri yang nampak begitu bahagia menyaksikan pernikahan suaminya itu lebih sakit, menusuk tepat pada ulu hatinya. Ini sudah kelewatan.
"Rin." lirih Luna begitu mendapati sudut bibir Karina yang terangkat. Luna segera mendekap erat sahabatnya, Karina memang terseyum. Sebuah senyuman memilukan bersamaan dengan air mata yang berlomba menuruni pipinya.
Karina segera keluar dari persembunyiannya. Tadinya perempuan hamil itu hanya mengintip dari area tempat para rewang meletakkan susunan makanan prasamanan. Namun sekarang permpuan hamil itu memutar. Berjalan lewat depan.
Langkah Karina di sambut janur kuning melengkung. Matanya mengedar mengamati dekorasi yang begitu mewah. Lampu-lampu begitu besar, kursi tamu dengan hiasan pita keemasan dan pelaminan yang begitu megah dengan berpagarkan bunga-bunga hidup dan kemerlip lampu.Tamu-tamu yang nampak tumpah ruah juga penampilan semua orang yang terkesan memukau.
Berbanding terbalik dengan Karina. Daster batik panjang sedikit lusuh dengan perut yang menyembul. Jilbab instan warna hitam yang basah di sebagian bagian. Juga alas kaki yang hanyalah sendal jepit kebesaran milik suaminya. Calon mantan suami lebih tepatnya.
Mendapati seseorang membawa piring makan tanpa basa-basi Karina langsung menyambarnya, bukan hanya satu namun dua piring sekaligus. Berjalan cepat, lalu membantingnya tepat di singgasana suaminya.
Praaangggggg
Hening. Suasana riuh itu seketika menjadi senyap.
"Pelakoooorrr." Teriak perempuan hamil itu lantang, membuat suara bisik-bisik terdengar di bekalakangnya.
"Karina." Gumam laki-laki diatas pelaminan itu lirih.
Karina berjalan dengan cepat menaiki pelaminan. Menyerang perempuan yang berstatus sebagai madunya dengan brutal. Sejenak, perempuan itu bahkan melupakan perut buncitnya.
Serangan tiba-tiba yang dilayangkan Karina membuat perempuan dengan baju pengantin itu hanya bisa pasrah. Diludahi, dimaki bahkan bagian perut dan wajahnya terasa begitu nyeri mendapat hantaman bertubi-tubi dari istri pertama suaminya. Perempuan dengan kemarahan memang memiliki kekuatan yang berkali-kali lipat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
Non-FictionAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...