Karina memejamkan kedua matanya lalu menghembuskan nafas kasar dengan tangan terkepal erat. Hatinya yang sudah remuk tak terbentuk kini kembali dihujami ribuan jarum yang menusuk begitu menyakitkan. Sampai kapan rasa sakit ini akan terus-menerus menggerogoti? Mengapa mereka seakan tidak pernah puas menyakiti perempuan berperut buncit itu.Semua yang dialaminya terjadi begitu cepat. Bahkan rasanya semua belum dapat dicerna dalam logikanya. Suami yang dianggapnya setia malah menghadirkan orang ketiga. Orangtua kandung yang harusnya menjadi tempatnya pulangpun berbalik menjadi kubu yang bersebrangan dengan dirinya. Sebenarnya apa salahnya? Mengapa semua seakan berlomba menikamnya.
Dan untuk kenyataan yang didapatinya sekarang, hanya bisa membuat Karina tersenyum miris. Suami dan madunya sedang berada di dalam ruangan dokter Adam, seorang dokter spesialis kandungan. Pantas saja suaminya terlihat begitu khawatir pada madunya dan begitu marah pada sang istri pertama. Ternyata laki-laki itu takut kehilangan calon anaknya bersama istri keduanya. Tapi tak takut kehilangan calon anak dalam rahim istri pertamanya. Lucu bukan?
"Aku pikir Mas Anggara bakalan nyari aku. Ternyata aku kepedean Lun. Kepergianku gak ada efek apapun dalam hidup Mas Anggara. Bahkan dia masih bisa terlihat bahagia tanpa aku. Padahal dia tahu kalau aku lagi berjuang untuk anaknya. Aku bodoh ya Lun masih ngarepin dia untuk sekedar inget aku, atau setidaknya inget darah dagingnya sendiri."
"Aku tahu kamu bakalan bosen denger kata-kataku. Tapi kamu untuk sabar, Rin. Gak usah mikirin dia yang gak mikirin kamu. Jangan banyak pikiran, kasihan kandungan kamu."
"Pengennya aku juga gak mikirin. Tapi hati aku gak bisa dibohongin, Lun. Sakit!" lirih Karina dengan mata berkaca.
"Rin, balik ke kamar yuk." ajak Luna sembari menatap iba kepada sahabatnya itu. Anggara benar-benar iblis berbentuk manusia. Kehadirannya di rumah sakit ini, jadwal pemeriksaan istri baru yang bentrok dengan Karina sudah jelas jika semuanya sudah direncanakan.
"Lun ayo pergi dari kota ini. Aku udah gak sanggup, Lun." pinta Karina membuat Luna mengangguk.
"Ayo balik ke kamar. Kamu siap-siap dulu abis itu kita bakalan langsung pergi dari sini."
Karina kembali mendudukan dirinya di kursi roda, dengan Luna yang berada di belakangnya mendorong. Kali ini terasa berbeda dari saat mereka berangkat tadi. Perjalanan kali ini hanya diisi kesunyian. Hingga kursi roda itu memasuki ruangan inap milik Karina.
"Aku mau ke ruang administrasi dulu, Rin. Baru ntar aku beresin kamar. Toh barang-barangnya cuma dikit."
"Maaf ngrepotin, Lun." cicit Karina pelan.
"Enggak ngrepotin. Kitakan sahabat. Udah aku mau keluar dulu. Di sini terus malah jadi mellow ntar."
Setelah Luna meninggalkan kamar. Karina memilih untuk membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya berupa baju yang dipersiapkannya untuk dipakai pulang nanti. Setelah itu Karina mulai menidurkan dirinya ke brankar dengan posisi miring ke kiri.
Ceklek,
Pintu terbuka, lalu suara jejak langkah mulai mengalun dalam indra pendengaran Karina.
"Loh kok cepet ba..." kalimat yang akan terlontar dari perempuan berperut buncit itu terhenti. Ketika mendapati jika bukan Karina yang berada dalam ruangannya.
"Ibu." lirih Karina membuat perempuan paruh baya di hadapannga tersenyum meski terlihat sedikit dipaksakan.
"Maaf Ibu baru jenguk kamu. Abisnya Ibu dari kemarin-kemarin jagain Malika. Trus tadi pas Malika sama Anggara pergi ke rumah sakit buat priksa ke dokter kandungan Ibu ikut. Eh ternyata pas sampe sini yang boleh masuk ruangan satu orang aja jadi Ibu kesini deh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
Não FicçãoAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...