Hari senin yang cerah. Bahkan jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun rumah berlantai dua itu sudah riuh dengan suara teriakan dua orang perempuan yang saling perang argumen. Di sebelah mereka ada sang suami dari kedua wanita itu yang hanya mematung menyaksikan.
Bahkan tak terasa sudah lima belas menit berlalu. Sedangkan laki-laki dengan setelan celana jeans dan kaos itu hanya bisa memijit pelipisnya pelan. Sungguh rasanya kepala Anggara ingin meledak menyaksikan perdebatan di hadapannya. Membela istri pertama hanya akan membuat Anggara mendapatkan seluruh cacian dari keluarganya. Namun jika membela istri keduanya berarti Anggara membangunkan macan yang sedang tertidur. Jujur Anggara masih trauma dengan tendangan maut istri pertamanya.
"Aku hamil muda."
"Aku hamil tua." balas Karina tak mau kalah.
"Kamukan udah sering duduk di depan."
"Nah itu kamu tahukan kalau itu tempatku? Harusnya kamu sadar. Suka banget sih ngerebut apa yang aku punya." sinis Karina pada madunya itu.
"Kamu istri tua harusnya ngalah dong, Rin. Aku mual kalau duduk di belakang."
"Statusku emang istri tua tapi kamu jauh lebih keliatan tua dari aku." ketus Karina membuat Malika mendelik tak terima.
"Mas, Karina ngatain aku. Padahal dia yang lebih tua." adu Malika membuat Anggara mendongak lalu menatap bingung kedua istrinya. Mengapa duduk dikursi depan merembet hingga siapa yang kelihatan lebih tua?
"Enggak ngatain. Emang bener Malika keliatan lebih tua dari aku ya, Mas?" tanya Karina membuat Anggara mengangguk-anggukan kepala tanpa sadar.
"Mas! Kok kamu ngangguk-ngangguk sih. Jadi aku keliatan tua gitu?"
"Enggak gitu, Lika. Mas tadi itu reflek."
"Dengerin tu Mas Anggara. Reflek itu artinya tulus dari hati langsung. Sabar ya kamu dikatain tua sama suami sendiri."
"Maaasss." jerit Malika.
"Kamu tu jadi suami gak boleh gitu, Mas. Masa ngatain istri sendiri. Astagfirullah itu gak baik." Karina mengompori.
"Loh kok jadi salah aku sih?" seloroh Anggara tak terima.
"Oh jadi kamu nyalahi Malika, Mas? Astagfirullah. Tadi ngatain tua sekarang nyalah-nyalahin juga. Tuh Lik kamu denger sendirikan kata-kata Mas Anggara. Masa kamu terima gitu aja di kata-katain terus di salah-salahin. Udah tendang aja pisangnya biar gak bisa berdiri sekalian. Biar kapok." seru Karina sembari melirik bagian bawah suaminya, membuat Anggara reflek menutupinya dengan tangan bagian terpenting dalam dirinya.
Melihat Malika dengan wajah merah padam, membuat Karina segera melangkah mundur. Tugas Karina hanya membuat huru hara saja. Sungguh membuat madu dan suaminya emosi menjadi kesenangan sendiri untuknya. Bahkan Karina pikir mungkin dirinya akan merindukan mereka saat perpisahan nanti.
Dan lihatlah sekarang perempuan berperut buncit itu sudah memasuki mobil dan mendudukan diri di kursi kemudi seolah tak terjadi apapun.
Tinnn... Tiiinnn....
Karina memencet klakson membuat sepasang suami istri itu terepranjat.
"Ayo keburu siang." teriak Karina dengan kepala menyembul dari jendela.
"Duduk samping aja, Rin. Jangan nyetir!" titah Anggara membuat Karina mendelik.
"Kamu duduk di belakang! Aku mau nyetir."
"Jangan keras kepala, Rin. Inget itu perut kamu udah gede banget."
"Ini perut manusia. Buatan Tuhan gak akan meletus hanya karena aku nyetir mobil. Toh selama ini aku ke mana-mana juga nyetir sendiri. Jadi stop bertindak seolah kamu merhatiin tentang aku, Mas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
SachbücherAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...