Part 2

20K 1.9K 127
                                        

Bulu mata lentik itu mengerjab, pertanda si empunya sudah mulai terbangun. Aroma khas rumah sakit langsung menyengat menembus indra penciumannya. Beberapa detik kemudian iris coklat muda itu mulai mengedar, mengamati sudut demi sudut ruangan. Seperti tersadar Karina segera meraba perutnya. Masih membuncit, tapi ada yang aneh. Karina belum merasakan pergerakan apapun dari dalam sana.

Degh,

Jantung Karina seperti berhenti berdetak rasanya. Segala pikiran mulai berkecamuk dalam benaknya sekarang. Darah kental yang mengalir di sela kakinya, gerakannya yang terlalu berlebihan di pelaminan suaminya belum lagi beban pikiran yang begitu menyiksa akhir-akhir ini. Mungkinkah? Dia juga harus kehilangan buah hatinya setelah semua orang berlomba menikam dan meninggalkannya?

Tidak cukupkah Tuhan memberinya cobaan, sampai harus merasakan perih yang datang bertubi-tubi? Bolehkah Karina menyerah sekarang? 

"Rin, kamu kenapa? Perutnya sakit lagi, iya? Yang mana?" teriak perempuan yang memakai mukena itu sembari berjalan tergopoh-gopoh menghampiri sahabatnya.

"Anak aku Lun. Dia masih baik-baik ajakan?" 

"Hei tenang, Rin. Si Utun baik-baik aja dalem masih betah dia." 

"Beneran?" tanya Karina memastikan. Membuat Luna mengangguk seraya tersenyum lembut. Membelai hijab yang menutupi ujung kepala Karina.

"Iya, tadi itu pedarahan trus udah dikasih obat buat menghentikan perdarahan. Untung gak ada pembukaan jadi, si Utun masih bisa lebih lama sembunyi di dalem sini." celoteh Luna riang sembari membelai perut menyembul milik Karina.

"Aku takut, Lun. Aku udah kehilangan semuanya. Suami bahkan orangtua aku sendiri, aku kehilangan semuanya dalam sekejab, Lun. Jadi aku gak bisa bayangin kalau seandainya aku juga harus kehilangan anak aku juga. Bahkan semua yang aku alami aja rasanya masih kayak mimpi. Semuanya terlalu cepat, bahkan otak aku belum sanggup mencerna semuanya"

"Iya, Rin. Aku ngerti. Aku ngerti banget. Kamu jangan khawatir ada aku di sini. Aku akan selalu ada buat kamu. Kitakan sahabat."

"Makasih, Lun. Aku gak tahu kalau gak ada kamu. Mungkin aku udah.."

"Sssttt.... Jangan ngomong aneh-aneh. Kamu gak boleh banyak  pikiran kasihan ponakan aku. Oh ya aku mau manggilin dokter, sekalian beli makan aku laper nih. Kamu mau makan apa?" mendengar pertanyaan Luna, Karina hanya menggeleng. Akhir-akhir ini nafsu makannya menurun drastis. Bahkan Karina juga tak ingat kapan terakhir kali makan. 

Padahal bisanya nafsu makan Karina tak pernah surut. Memang semenjak kehamilannya memasuki trimester kedua sampai sekarang, nafsu makan Karina melonjak drastis. Bahkan berat badannya bertambah sampai dua puluh kilo, jika biasanya lima piluh kilo maka sekarang Karina harus tabah dengan beratnya yang mencapai tujuh puluh kilo. Bagaimana tidak semakin bertambah cepat jika Anggara selalu memanjakannya. Ah, mengingat itu raut Karina berubah semakin menyendu.

Bertahun-tahun pernikahan mereka membuat Karina terbiasa dengan adanya Anggara. Melupakan? Tentu hal itu tidak akan mudah. Bahkan rasanya Karina juga belum percaya jika Anggara tega menghianatinya. Jadi satu-satunya hal yang ingin dilakukannya sekarang adalah pergi sejauh mungkin dan berdamai dengan hatinya.

"Bawa aku pergi, Lun." pinta perempuan hamil itu membuat Karina mengangguk. Tak tega rasanya membiarkan Karina merasakan sakit yang tak berkesudahan.

"Iya, Rin. Tapi gak sekarang. Kondisi kamu gak memungkinkan. Kamu masih lemah. Aku janji kalau kondisi kamu lebih baik. Kita bakalan pergi dari sini, ya?" janji Luna membuat Karina mengangguk. Perempuan hamil itu tidak boleh egois, janin dalam kandungannya harus tetap menjadi yang menjadi utama.

Rintik yang RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang