Part 15

14.1K 1.5K 144
                                    

Perempuan berperut buncit itu menengadahkan tangan. Membiarkan telapaknya menjadi tempat titik-titik air langit bersemayam. Sedikit terkekeh kala mendapati tendangan dari dalam perutnya, seakan sang jabang ikut merasakan kebahagiaan bermain-main dengan sang rintik.

Memang hari masih terlalu dini untuk bermesra dengan sang semesta yang tengah mengirim pasukan air langit. Namun apa mau dikata, tidur setelah bersujud pada Sang Kuasa hanya akan menghambat rezeki. Itulah yang dulu Ibunda Karina ajarkan, salah satu hal baik yang selalu Karina terapkan hingga sekarang.

Bahkan Karina masih mengingat jelas, pemilik surganya sebelum berpindah pada sang suami itu. Bagaimana ajaran-ajaran baiknya, bagaimana tutur kata manisnya, bagaimana rasa cinta pada sang putri. Bagaimana tangan lembut yang selalu menyambutnya itu. Namun itu dulu, sebelum perempuan bergelar sebagai Ibu kandung itu berbalik membencinya.

"Rin." mendengar suara bariton yang amat dikenalinya itu Karina menoleh, menampilkan senyum terindah untuk sang cinta pertamanya.

"Ayah."

"Sayangnya Ayah kok di sini. Dingin, masuk yuk Sayang." 

"Enggak Yah. Karina mau di sini liatin gerimis, kayaknya bentar lagi hujan. Ayah pagi-pagi banget kok udah kesini?"

"Iya, Ibu rewel minta di anterin ke sini. Gak sabar nganterin puding mangga buat Malika katanya."

"Buat Malika ya?" cicit Karina dengan senyum masam membuat Rafi berdehem sedikit salah tingkah. 

"Tapi anak cantiknya Ayah gak usah sedih. Tadi Ayah juga bawain kamu mangga kok, tapi buahnya aja. Soalnya Ayah gak bisa buat puding. Maafin Ayah ya?"

"Makasih Ayah." lirih Karina sembari mengusap punggung tangan yang tak lagi muda itu. Memang hanya Ayahnya yang begitu tulus menyayanginya. Cinta pertama yang tak pernah menghianatinya.

Satu-satunya laki-laki yang membelanya bahkan saat satu dunia menghakiminya. Mungkin hanya satu kesalahan laki-laki paruh baya itu padanya, menyembunyikan pernikahan kedua menantunya. Bukan tanpa sebab, Ayahnya melakukan itu karena paksaan Ibunya. Perempuan yang begitu dicintai Ayahnya. Karina tak pernah menyalahkan, karena Karina tahu Ayahnya tak pernah bisa memilih antara istri atau anak perempuannya.

"Masih seneng liatin gerimis ya. Padahal sekarang udah mau punya anak, tapi kebiasaannya masih tetep sama." ujar Rafi sedikit terkekeh sembari membelai tangan Karina.

"Karina suka gerimis, Yah. Datang membawa kesejukan, kepergiannya meninggalkan pelangi. Setidaknya gerimis tidak pernah mengecewakan penikmatnya seperti senja. Yang hadir sesaat langsung meninggalkan kelam."

"Tapi banyak yang lebih suka senja."

"Iya karena sejatinya manusia lebih suka ilusi. Mereka terlalu terlena dengan sesuatu yang disebut indah. Hingga melupakan kepahitan yang akan terjadi setelah sesuatu yang disebut indah itu pergi."

Rafi mengangguk lalu mengusap puncuk kepala sang putri. Karinanya sudah besar. Bahkan Rafi masih mengingat dengan jelas hari dimana kelahiran Karina yang membuatnya suka cita, bahkan Rafi sendiri yang menamai bayi mungil itu dengan nama Karina. Namun sayang, kehadiran Karina hanya menjadi mala petaka. Istrinya, membenci Karina bahkan sebelum hari kelahirannya. Rafi juga masih mengingat dengan jelas sumpah serapah yang diucapkan istrinya setelah kelahiran Karina.

Rintik yang RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang