Hembusan nafas kasar terdengar dari perempuan berperut buncit itu. Terhitung sudah dua hari ini, Karina menghindari segala jenis interaksi dengan manusia setengah setan yang berstatus sebagai suaminya.
Hingga berakhirlah Karina yang kelaparan sekarang. Ingin rasanya menghampiri tukang sayur di depan rumah. Tapi apa daya uang yang dimiliki Karina tak akan cukup. Anggara memang rutin mengirimi Karina uang dan jangan lupakan kartu-kartu yang berjejer manis pada dompet milik Karina. Tapi itu tidaklah ada gunanya sekarang. Mau minta pada orang rumah tidak mungkin, meminta suaminya? Oh jangan bercanda.
Ingin meminta tolong pada Lunapun percuma, Luna sedang berada di Bandung sekarang. Jadi terpaksa Karina akan pergi sendiri ke ATM mungkin sekalian membeli makan siang di luar sana. Tapi mengingat betapa panasnya hari ini membuat Karina sedikit mengeluh.
Walau sudah mendeklarasikan diri sebagai wanita mandiri. Percayalah, sebagai wanita Karina masih butuh bahu bersandar dan juga penompang para hidupnya. Apalagi mengingat perut buncitnya, membuat Karina ingin menangis saja.
"Bentar, Dek. Bunda masih ngumpulin niat. Lagian baru dua jam makan lontong pecel. Masak udah laper sih." lirih Karina sembari mengelus perut buncitnya.
Akhirnya setelah berperang dengan batinnya, Karina bangkit. Memakai hijab, mengambil dompet dan terakhir mengambil gawai. Dahi Karina menyerngit saat mengetahui banyak sekali panggilan tak terjawab dari suaminya. Untuk apa laki-laki itu mencoba menghubunginya? Bukankah mereka tinggal dalam satu rumah. Anggara juga belum berangkat kerja, mengingat mobilnya masih terparkir manis di depan garasi. Dasar aneh!
Karina meneruskan langkahnya menuju lantai satu. Hingga langkah akhirnya langkah Karina terhenti, sedikit meringis mendengar suara orang yang muntah-muntah. Bukan manjauh, Karina malah mendekat kemudian mengintip melalui celah pintu kamar mandi. Sedikit menyerngit saat mendapati suaminya yang muntah dan sang madu yang hanya mondar-mandir.
"Minggir." ketus Karina pada perempuan yang sibuk menggigiti kukunya itu.
"Muntahin Mas." perintah Karina sembari mengurut leher belakang Anggara yang hanya dibalas gelengan oleh suaminya itu.
"Pusing,Yang."
"Ya udah istirahat ke kamar aja."
Setelah mengatakan itu Karina segera memapah Anggara, menuju kamar tamu. Karena tak memungkinkan membawa Anggara masuk pada kamar mereka yang terletak di lantai dua. Setelah sampai Karina segera merebahkan Anggara ke kasur. Setelah itu Karina beranjak dari kamar mengabaikan perempuan bergaun bunga-bunga yang terus membuntutinya.
Dengan sedikit tergesa Karina mengambil kotak P3K dan membawanya ke kamar. Masih dengan Malika yang senantiasa berada di belakangnya.
"Mas, aku kerokin dulu." izin Karina seraya membantu membuka kemeja milik suaminya. Hingga menghadirkan tubuh bagian atas nan kokoh itu.
"Ngapain liat-liat. Sana mending buatin teh madu sama sop inget pakai kaldu ayam asli, dan gak pakai bawang goreng." perintah Karina membuat Malika membulatkan mata.
"Tapi aku gak bisa masak."
"Ya udah aku yang masak. Gantiin kerokin Mas Anggara."
"Aku gak bisa. Aku belum pernah ngerokin orang."
"Masak gak bisa, ngerokin gak bisa. Apa-apa gak bisa. Pantesan rebut suami orang gak punya bakat sih."
Melihat sang madu hanya diam Karina semakin dibuat kesal. Bahkan dengan sengaja menekan koinnya sekuat tenaganya pada suaminya.
"Sakit, Yang."
"Sakitan mana sama aku coba? Kamu pas seneng-seneng nikah lagi lupa sama istri pertama. Trus pas sakit baliknya ke siapa? Ke istri pertama lagikan. Terus gunanya istri keduamu itu apa? Masak gak bisa ini gak bisa itu gak bisa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
Non-FictionAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...