Part 29

19.5K 2.1K 439
                                        

Ketakutanku tentang kehilangan
Membuatku tak sadar genggamanku terlalu erat, cengkramanku terlalu menjerat sampai akhirnya kamu berada di titik lelah dan memilih pergi meninggalkan aku dan kesepian
~Anggara

~Rintik yang Retak~


'Aku sang rintik yang dipaksa retak, menerima semesta menghukumku atas kesalahan yang tak pernah aku lakukan. Pernah aku bersedih, pernah aku menangis sampai akhirnya aku berhenti. Berhenti untuk memperdulikan hatiku. Menutupnya rapat dan berkata "hai aku bisa sampai disini artinya aku bisa melewati semuanya" aku menjadikan hidupku seperti permainan, semakin aku menaiki level semakin rumit rintangan yang aku lalui."

'Aku tak ingin membuat perumpamaan lagi, karena aku tak ingin jadi si sakit bertopeng baik-baik saja."

Setelah membaca coretan pena di tangannya. Laki-laki berkaos abu-abu itu menghela nafas panjang, memasukan kembali kertas yang berisi curahan hati istrinya ke dalam saku celana.

Sudah rutinitasnya, membaca bait demi bait yang membuat hatinya tercubit. Bukan hanya tentang kesakitan Karina, tapi alasan dibalik luka hati Karinanya. Bahwa dirinyalah salah satu dari pelukis luka Karina, padahal seharusnya Anggaralah yang menjadi tameng. Tapi dengan bodohnya, Anggara malah ikut menjadi pelaku.

"Sayang bangun yuk, udah dua hari loh kamu tidur. Kamu gak mau liat gerimis? Itu di luar lagi gerimis, kamu suka gerimiskan? Katanya kamu suka gerimis bikin kamu tenang, ayo bangun. Aku gak bakal marahin kamu kalau mau main ujan, malahan nanti aku nememin kamu. Tapi kamu buka mata dulu ya? Matanya jangan ditutup terus," lirih Anggara dengan mata berkaca-kaca menatap ke arah perempuan yang terbaring lemah di atas brankar.

Terhitung sudah genap dua hari, wanita penyuka gerimis itu hanya terbaring lemah di atas sana. Tidak ada canda tawa, celoteh manja bahkan sekedar senyuman yang biasa tersaji di wajah cantiknyapun ikut menghilang, menyisakan wajah pucat yang setia memejamkam mata.

Mungkinkah alam mimpinya lebih indah dari dunianya sekarang hingga wanita itu betah terlelap terhanyut dalam mimpinya?

"Tugas kamu belum selesai, Sayang. Kamu bukan hanya harus melahirkan buah cinta kita. Kamu juga harus mendidiknya dan membesarkannya sama-sama dengan aku, Sayang. Aku gak mau nanti anak kita tidak bisa merasakan cinta kasihmu yang begitu tulus. Ayo bangun, Sayang."

"Sayang, kamu gak mau liat jagoan kita ya? Dia gembul banget, pipinya sama kayak kamu, matanya juga sama kayak kamu. Kamu tahu gak pas lahir anak kita gak bisa nafas, keracunan kawah katanya. Padahalkan anak kita lahirnya dari rahim kamu bukan gunung, tapi kok bisa keracunan kawah ya?" Anggara terkekeh bersamaan dengan air mata yang luruh di sudut matanya. "Ayo debat aku, Sayang. Aku keluarin semua teori-terimu yang selalu mematikan otakku. Aku janji aku bakalan dengerin sampai akhir, aku gak akan motong-motong kamu ngomong, ayo Sayang ngomong." desak Anggara yang hanya dijawab oleh suara mesin EKG.

Karinanya masih sama, hanya diam membisu, bahkan badannya semakin memucat. Dan itu membuat air mata Anggara luruh berlahan, awalnya hanya setetes kemudian semakin deras selaras dengan air langit yang menetes menjumpa sang bumi.

"Jangan jadikan aku alasan untuk kamu menangis, Mas. Jika kamu menjadikanku alasan, maka besar kemungkinan kamu menangisiku karena aku sudah tidak lagi tergapai. Tapi kamu tenang saja, aku tidak akan membiarkan kamu sendiri karena aku selalu menitipkan kamu pada rintik-rintik, mereka akan menemani kamu saat kamu menangis nanti. Karena aku bagian dari mereka, aku juga sang rintik, bedanya rintikku tlah retak."

Anggara semakin terisak, saat melirik ke arah kilatan-kilatan petir di atas langit, gemuruh bersaut-saut seakan menembus tepat pada jantungnya. Karinanya tidak pernah berbohong, Karina tidak pernah membiarkan Anggara sendiri meski Anggara telah mematahkan hatinya berkali-kali. Karina tetap selalu ada meski hanya diwakili dengan rintik langit.

Rintik yang RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang