"Udahlah jangan main drama, memutar balik fakta. Seolah kamu adalah orang paling tersakiti disini. Kamu tahu? Gara-gara kelakuan kamu yang kampungan, ngamuk di nikahan Anggara kayak orang gak berpendidikan kemarin. Keluarga kita malu, Rin malu. Bahkan Malika sampai masuk rumah sakit tertekan jadi cemoohan semua orang. Gak mikir kamu?"Pernyataan yang keluar dari bibir perempuan paruh baya itu membuat darah Karina semakin mendidih. Siapa yang memutar balikkan fakta disini? Kenapa korban sepertinya, sekarang malah seolah menjadi tersangka. Kenapa Karina harus menjadi kambing hitam atas semua yang terjadi.
"Terus Karina harus gimana, Bu? Diem gitu aja ngeliat Mas Anggara bersanding di pelaminan sama perempuan lain? Dan sekarang Ibu lebih khawatirin keadaan Malika?" Karina juga mau dikhawatirin, Bu. Kenapa Ibu tidak melihat Karina? Padahal Karina juga lebih sakit. Karina hancur, Bu.
"Kamu sakit karena kamu sendiri yang cari penyakit. Makanya jangan kebanyakan tingkah. Disekolahin bukan makin pinter malah bakin bodoh. Gara-gara kejadian kemarin bukan cuma keluarga kita dapat malu, tapi imbasnya ke perusahaan juga banyak kolega bisnis yang batalin kontrak mereka. Kalau gini terus perusahaan bisa gulung tikar. Gak punya otak emang kamu."
"Jadi Ibu lebih mikirin perusahaan daripada perasaan anak Ibu sendiri?"
"Nahkan banyak drama. Sekarang kamu ngomong seolah perusahaan itu gak penting. Padahal kamu bisa hidup sampai detik ini juga karena uang perusahaankan? Makan enak, tidur enak. Gak inget? Gak tahu diri! Gak tahu terimakasih kamu itu."
"Salahin aja Bu. Semua limpahin aja sama Karina. Karina bodoh, karina gak punya otak, gak tahu diri iyakan, Bu?"
Jerit Karina dengan air mata yang mulai menganak sungai, namun perempuan paruh baya dihadapannya tak sedikitpun menampilkan raut iba. Bahkan jeritan putus asa dari anak perempuannya seakan menjadi sesuatu yang begitu dinantikannya. Entah julukan apa yang pantas disematkan untuk seorang Ibu kejam sepertinya.
"Lagian apa susahnya kamu ngalah sih, Rin. Jangan egois."
"Siapa yang egois sih Bu? Aku atau kalian." sinis Karina menatap tajam perempuan paruh baya dihadapnnya. Hilang sudah rasa hormatnya sekarang. Sudah cukup luka bantinnya yang selalu dipendam sekarang saatnya dia melawan.
"Kamu yang egois. Apa susahnya tinggal berdamai trus nerima Malika dia jadi istri keduanya Anggara."
"Poligami hanya untuk perempuan pilihan. Dan aku bukan perempuan pilihan, Bu. Aku gak bisa berbagi suami dengan perempuan lain. Aku gak bisa nahan rasa sakit liat suamiku memperlakukan hal yang sama kayak yang dia lakuin ke aku. Aku hanya perempuan biasa, Bu. Aku punya rasa sakit, aku punya rasa cemburu."
"Terus apa? Mau nuntut cerai? Dipikir jadi janda itu gampang. Lagian itu anak kamu mau makan apa? Orang selama ini aja kamu jadi benalunya Anggara. Sok-sokan gak mau dimadu. Harusnya kamu bersyukur gak di cerein Anggara.
"Aku bukan benalu, tapi udah kewajiban Mas Anggara ngasih aku nafkah. Aku juga masih punya toko kue, buat kehidupanku sama anak aku nanti." sanggah Karina membuat perempuan dihadapannya terkekeh sinis.
"Toko kue? Oh jadi kamu belum tahu ya kalau toko kue itu udah kebakaran kemarin."
"Kebakaran?"
"Iya, dan perempuan dihadapan kamu ini pelakunya. Kenapa gak terima? Mau nuntut Ibu kandungmu sendiri, Karina?" tantang Perempuan paruh baya itu membuat Karina terdiam.
Tidak cukupkah mereka memporak-porandakan hatinya? Menikamnya dengan begitu kejam. Dan sekarang tempatnya mencari uangpun dihancurkan. Jika memang ingin menghancurkannya kenapa tidak langsung meleyapkan nyawanya? Kenapa dengan melakukan kejutan-kejutan tak terduga yang menyerang tingkat kewarasannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
No FicciónAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...