Part 21

13.5K 1.8K 134
                                    

Jika hadirku hanya hasilkan luka,
Tak perlu berlomba menikam
Cukup aku dengan kesadaran diriku yang akan pergi
~Karina

Senyum tak berhentinya luntur dari bibir perempuan berperut buncit itu. Melihat bagaimana Luna yang tengah menggoda gadis kecil yang memperkenalkan dirinya sebagai Zifa. Gadis yatim piatu yang ditemukan di depan panti, bahkan saat masih berwarna merah lengkap dengan tali pusar yang masih basah.

"Kalau Farina masih ada mungkin sebesar itu ya, Rin?" lirih Luna membuat Karina mengusap lembut bahu sahabatnya itu.

Jelas Karina tahu jalan hidup sahabatnya itu karena memang dirinyalah yang terus menguatkan dan menjadi bahu untuk Luna. Wanita tangguh yang tetap bisa menjaga kewarasannya bahkan saat menelan pil pahit kehilangan anak tiri dan suaminya dalam waktu yang bersamaan bahkan sesaat setelah melakukan ijab qabul.

"Jangan diratapi Lun, iklasin. Karena sejatinya garis hidup manusia sudah ada yang menentukan. Kamu hanya cukup berdoa dan berserah pada Tuhan. Mas Ridwan dan Farina sudah bahagia di sana."

"Aku udah ikhlas. Aku cuma kadang rindu aja sama Mas Ridwan dan Farina, Rin. Coba aja kalau..."

"Sssttt... Gak boleh berandai-andai. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah ada yang mengatur. Bukankah sebagai hambaNya kita hanya perlu percaya jika garis yang telah disiapkan untuk kita adalah hal yang terbaik?" lugas Karina membuat Luna mengangguk.

"Kenapa kamu masih bisa menguatkan orang lain sih, Rin? Padahal hidup kamu sendiri bahkan.."

Luna tercekat tak bisa meneruskan kata-katanya. Terlalu pelik menjelaskan kisah Karina yang begitu menyakitkan. Jika Luna berada dalam titik terendah hidupnya masih ada orangtua, sahabat, dan semua orang yang mau berada di sampingnya. Membantu menguatkan dan menjadi pundak, tapi Karina? Bahkan saat berada di titik terendah dalam hidupnya semua malah berlomba semakin menikam dan mendorongnya dalam jurang penderitaan.

"Tau gak Lun kenapa aku tetap baik-baik saja?" tanya Karina dengan senyum mengembang membuat Luna menggeleng.

"Karena aku sudah siap."

"Siap?" beo Luna yang diangguki Karina.

"Iya siap dengan segala kemungkinan. Bahkan sedari awal aku sudah menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang terjadi. Karena aku tahu pada akhirnya kita akan ditinggalkan oleh pasangan hidup kita, entah ditinggal mati atau ditinggal pergi. Jelas luka dan rasa sakit itu pasti ada, tapi apakah dengan menyerah pada keterpurukan akan membuat semuanya baik-baik saja? Tidak!

Dan jika kamu merasa lukamu begitu dalam, maka saat itulah Tuhan ingin kamu semakin mendekat denganNya. Dengan cara mengutus semesta untuk menegur kita yang terlalu dalam mencintai ciptaanNya dan melupakan penciptaNya. Seakan Tuhan meyakinkan kita jika diriNyalah satu-satunya rumah."

Cukup lama mereka terdiam. Seakan membiarkan sang waktu mengalun sendu bersama dengan kesedihan yang menguar, mencekik, melilit dan membius sang jiwa. Karena memang tak mudah mengungkap lara, ibarat menyiram bara pada kobaran yang hendak padam. Membabi buta menikam sesuatu yang kita kenal sebagai rasa.

"Kamu orang baik, Rin." celetuk Luna membuat Karina menoleh dan menggeleng lemah.

"Aku bukan orang baik, Lun. Kalau aku baik suamiku tidak akan berpaling. Kalau aku baik orangtuaku dan semua yang berada di sekelilingku tidak akan berlomba mematikanku."

"Kamu baik, mereka yang kurang bersyukur memiliki kamu, Rin."

"Maka biarkan mereka yang kurang bersyukur itu menyadari apa yang mereka sia-siakan dengan cara mengenalkan mereka pada sesuatu yang biasa kita sebut sebagai kehilangan."

Rintik yang RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang