Drrrtt.... Drrrtttt
Dering ponsel itu mengalihkan pandangan laki-laki berbadan tinggi, tegap dari deretan grafik dan angka yang berjejer pada layar laptopnya. Sedetik kemudian mata tajam itu membola menatap deretan kata yang dikirimkan oleh salah satu anak buahnya yang bertugas mengawasi istrinya dari jauh.
"Berengsek." umpat Anggara pelan setelah mendapat laporan dari anak buahnya yang mengabari jika Karina telah meninggalkan area rumah sakit.
"Gak punya otak. Bodoh." maki laki-laki berkemeja hitam itu sembari menuruni tangga rumahnya.
Anggara menuju garasi dengan sedikit berlari. Mengabaikan teriakan penuh tanya orang-orang yang berada di ruang keluarga. Anggara segera memasuki mobilnya, lalu meninggalkan rumah dengan penuh amarah. Pikirannya diselimuti ketakutan sekarang. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan calon anaknya? Karina memang perempuan bodoh!
Mobil yang dikemudikannya mulai melaju. Cekraman pada stir begitu kuat. Bahkan buku-buku jarinyapun terlihat. Urat-urat pada lehernya menonjol, wajahnya merah padam. Anggara tidak akan membiarkan Karina membawa pergi calon anaknya.
Karina itu memang tidak pecus menjadi seorang Ibu. Bahkan saat kandungannya masih lemah dia sudah berani meninggalkan rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan anak mereka? Apa itu tidak terlintas dalam otaknya sama sekali. Bodoh! Karina memang bodoh.
Mobil berwarna hitam itu terus melaju, dibawah kendali Anggara mengikuti maps yang dikirimkan anak buahnya. Sedikit menyerngit ketika mengetahui tujuan akhirnya adalah rumah yang terletak pada perumahan elit Gandarsari. Tentu Anggara tahu karena sebagaian kolega bisnisnya bertempat tinggal di sana.
Setelah dua puluh menit berlalu. Anggara mulai memelankan laju mobilnya berbelok ke arah perumahan elit dan membunyikan klakson, di depannya sudah ada beberapa anak buahnya yang dengan sigap memberikan arahan untuk terus melaju. Hingga akhrinya berhenti pada rumah dengan nomor dua puluh satu.
"Maaf, Pak. Cari siapa?" tanya seorang satpam begitu melihat Anggara keluar dari mobilnya.
"Oh, saya tamu Bu Nita. Tadi ngabarin kalau saya disuruh langsung ke sini."
Sejenak laki-laki berseragam putih biru itu mengamati Anggara. Aroma parfum yang menusuk, penampilan yang parlente di tambah mobil yang digunakannya membuat satpam di rumah itu segera membuka gerbang untuk Anggara. Sudah pasti laki-laki itu tamu majikannya, begitu pikirnya. Tidak mungkin laki-laki beraromakan uang sepertinya menipu bukan?
Anggara tersenyum miring lalu mulai memasukan mobilnya ke dalam. Di parkirkannya mobil hitam itu di depan pintu rumah yang didominasi warna putih dan emas yang begitu elegan. Anggara melangkahkan kaki keluar dari mobil. Dahinya mengkerut saat mendengar riuh suara tawa yang begitu dikenalnya. Dengan langkah pasti Anggara mulai mendekat ke arah suara.
☘️☘️☘️☘️☘️
Karina mendudukan dirinya di depan air mancur. Sembari menunggu Luna yang sedang mengambil rujak untuknya.
"Sendiri, Rin?" pertanyaan itu membuat Karina mengangguk.
"Boleh gabung gak nih?"
"Udah duduk baru izin." sindir Karina pada Adam yang sudah mendudukan dirinya di ujung kursi, menciptakan jarak di antara mereka.
"Duduk dulu baru izin aja kamu sindir-sindir. Kebayang gak kalau namamu aku sebutin di depan penghulu dulu, baru aku bilang ke kamu. Bisa pingsan kamu."
"Nyebelin." gerutu Karina dengan mulut mengerucut membuat Adam berdehem. Jangan sampai Adam hilaf dengan istri orang. Astaga.
"Nih es krim." melihat Adam yang memakan es krim rasa coklat membuat Karina menggeleng. Karina tidak suka es krim coklat sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik yang Retak
Non-FictionAkulah sang rintik Yang kau paksa retak Tentang Karina yang harus menelan pil pahit yaitu pernikahan kedua suaminya yang justru didalangi oleh Mega, Ibu kandung Karina sendiri. Seakan belum puas Mega terus saja melancarkan-melancarkan cara untuk men...