Unaccepted

273 63 24
                                    

Selamat membaca 😊

***

18.30

Alma memoles bibir dengan lipstik sebagai sentuhan terakhir. Dengan kebaya warna nude, berpadu dengan hijab senada, Alma terlihat makin memesona.

"Al," panggil Mita. "Udah siap?"

Alma mengangguk. "Udah. Bismillah."

"Semoga semuanya lancar ya, Al," gumam Mita sambil mengamit tangan Alma. Mereka keluar dari kamar sebuah guest house yang disewa keluarga Mita untuk persiapan pernikahan Arsyad malam ini.

"Alma," panggilan dari suara berat khasnya terdengar di telinga Alma.

Alma pun menoleh sambil mengulas senyum. Arsyad sudah rapi dengan beskap putih gading. Calon pengantin yang terlihat bahagia dengan raut sedikit gugup.

Paham akan situasi, Mita langsung pergi menjauhi Alma dan Arsyad. Dia tahu, sahabat dan kakaknya perlu ruang untuk berbicara berdua sebelum menuju venue bersama-sama dan prosesi sakral itu dimulai.

"Aku deg-degan," gumam Arsyad.

"Semua akan baik-baik saja dan lancar. Percaya sama aku," kata Alma sambil tersenyum.  "Abang ganteng juga pakai baju begini. Sudah cocok jadi orang Jawa."

"Jangan memujiku begitu, Al. Aku semakin gugup. Kalau nggak demi istri tercinta yang maunya pakai adat Jawa, aku juga lebih milih pakai jas yang simpel." Wajah Arsyad bersemu merah saat mengucapkan kalimat pengakuan cintanya.

Alma tersenyum. Dia senang Arsyad sudah menemukan tambatan hatinya. Setidaknya dengan begini, dia tidak lagi merasa bersalah karena terus menolak lelaki di hadapannya ini.

"Alma." Suara lain memanggil. Suara yang terdengar ragu tetapi jelas dikenali oleh Alma bahkan tanpa melihat sosoknya.

Arsyad mengangguk pada Alma. Seolah memberikan isyarat untuk perempuan itu berbicara berdua dengan sosok yang baru saja hadir. Sosok yang langsung membuat jantung Alma berdegup lebih kencang berkali-kali lipat. Sosok yang sejak dulu hingga detik ini, selalu menariknya tanpa ampun agar tidak pernah berpaling.

"Hai, Alma," sapanya lagi saat mereka sudah saling bertatap dengan jarak yang cukup dekat. Alma masih mengenali bau parfum yang sama. Senyum asimetris nan dingin yang masih sama. Rahang tegas dan wajah kaku yang masih sama, hanya saja jambangnya lebih bersih seperti habis bercukur.

Alma tersenyum ragu lalu bergumam, "Karis."

Setelah lebih dari enam bulan, mereka akhirnya kembali bertemu. Setelah hari-hari panjang penuh keraguan yang menyergap Karis, akhirnya, di hari bahagia Arsyad, dia tidak berniat lagi menghindari Alma.

"Gimana kabar kamu, Al?" Tanyanya terdengar basa-basi.

"Baik, Alhamdulillah. Kamu?"

"Baik." Karis menjawab singkat. Entah apa yang salah dengan malam ini, tetapi Karis merasa begitu gugup bertemu dengan Alma. Ini aneh, tentu saja. Alma bukan orang lain. Mereka akrab dan sudah dekat sejak dulu.

Apa ini karena kasus Esa sehingga Karis begitu tegang untuk bertemu Alma? Atau ini justru karena pengaruh ucapan semua orang termasuk Arsyad dan Mita soal perasaan Karis pada Alma?

"Kamu datang sendiri?" Tanya Alma memecah keheningan.

"Iya. Yang lain langsung ke gedung resepsinya."

Alma mengangguk. Bibirnya membulat, membentuk huruf o, mendengar jawaban Karis.

"Tadi siang aku ke klinik kamu. Niatnya mau ngajak kamu berangkat bareng," celetuk Karis tiba-tiba. "Ternyata kamu malah sudah dari pagi bantuin Mita buat urus semuanya, kata satpam klinik."

The New Chapter (Sekuel Beyond the Mission)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang