Kidnapping the Actor

569 73 24
                                    

Yogyakarta, Januari 2019

“Mas, aku balik ya?” tanya Gun, salah satu pegawai yang bisa dibilang senior di bengkel milik keluarga Widjaja.

“Kunci pegangan kamu sudah?”

“Sudah, Mas. Mas Karis kunci saja kalau sudah. Jangan lupa nyalain lampu depan.”

“Oke, siap.”

“Emang itu masih lama? Biar dilanjutin sama anak-anak besok saja, Mas. Lagian Mas Karis ngapain sih ikutan kotor-kotoran?”

“Lagi pengin aja, Gun. Sekali-kali. Saya bosan cuma duduk lihatin kerja kalian,” kata Karis sambil masih berkutat dengan obeng di tangannya. Ya, setelah kabur ke Bali selama hampir satu bulan, Karis kembali ke Jogja untuk melanjutkan terapinya dengan Dokter Wikan. Sekarang, hari-harinya sudah lebih baik, tidurnya lebih nyaman. Dia pun menyibukkan diri mengurus bisnis keluarga Widjaja yang sebelumnya dikelola orang lain.

“Ternyata seru juga bongkar-bongkar mesin gini,” celetuk Karis lagi.

“Lebih seru pegang pistol sama ngeborgol penjahat, Mas.”

Karis terkekeh mendengar kalimat itu. Sejujurnya dia juga rindu berkutat dengan kasus, mengejar buronan, dan melepaskan tembakan. Dia benar-benar sudah meninggalkan dunia itu hampir setengah tahun. Semua usaha rekan-rekan yang membujuknya untuk kembali sengaja dia abaikan. Dia tidak bisa kembali. Dan itu sudah jadi keputusannya.

“Pulang sana! Ditunggu anak istri di rumah,” ucap Karis.

Gun tertawa. “Ya udah balik dulu ya, Mas,” pamitnya kemudian menyalakan mesin motor dan pergi.

Karis melirik jam yang tergantung di dinding dekat lemari penyimpanan oli. Sudah pukul lima lewat. Pantas saja sudah makin gelap. Sepertinya Karis memang sudah harus mengakhiri aktivitasnya. Dia meletakkan obeng di kursi dekat jaketnya yang tersampir sembarangan kemudian melangkah menuju toilet untuk mencuci tangan.

Sebuah mobil Jeep berhenti di depan bengkel saat Karis baru keluar dari toilet. Dua orang laki-laki berbadan tegap keluar dan berjalan masuk area bengkel. Satu dari mereka memakai jaket kulit. Sementara yang lain mengenakan kemeja hitam panjang dengan kancing yang sengaja dibuka.

“Maaf, Mas. Sudah tutup,” kata Karis sambil memakai jaketnya. Dua orang itu tidak menjawab. Mereka justru terus melangkah.

Merasa sesuatu yang tidak beres, Karis langsung bersikap defensif. “Mas, bengkelnya sudah tutup!” ulangnya dengan suara lebih keras.
Tangan Karis segera bergerak meraih obeng yang tak jauh dari jangkauannya. Tangannya menggenggam obeng itu kuat-kuat.

Brak!

Karis melempar obeng yang dia pegang ke arah kedua orang aneh itu saat mereka berjarak sekitar lima meter. Beruntung, keduanya sigap bergerak hingga obeng itu tidak mengenai salah satu dari mereka melainkan membentur kursi tunggu customer.

Menyadari lemparannya meleset, Karis segera ambil langkah. Dia segera memasang kuda-kuda.

Bangsat! Ini mereka rampok atau apa? Karis mengumpat dalam hati. Selanjutnya, tangan Karis segera menangkis saat salah seorang dari mereka mulai menyerang. Adu pukul pun tak terelakkan lagi.

“Woi! Kalian ini maunya apa?” tanya Karis dengan nada membentak. Dia benar-benar tidak mengerti apa maksud penyerangan tiba-tiba ini.

“Hah!” pekik Karis sambil melayangkan tendangan pada laki-laki berjaket kulit hingga dia terhunyung ke belakang. Selanjutnya, tangannya bergerak menangkis pukulan si kemeja hitam.

“Mau kalian apa, Bangsat?” Karis kembali bertanya dengan berteriak. Tapi tidak ada jawaban dari dua orang itu. Mereka masih saling serang hingga si jaket kulit berhasil membekap Karis dari belakang.

The New Chapter (Sekuel Beyond the Mission)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang