Epilog

449 68 30
                                    

Bali, Satu Bulan Kemudian

Debur ombak pantai menjadi pemandangan yang memanjakan mata sepasang suami-istri yang sedang memadu kasih, duduk di atas pasir putih yang lembut. Sudah sejak tiga hari lalu mereka di pulau Dewata untuk menikmati kebahagiaan sekaligus melakukan bulan madu yang sempat tertunda.

"Ayah ni nanyain terus kamu udah hamil apa belum." Karis menggerutu. Dia menyimpan ponselnya kembali di dalam saku tanpa membalas pesan ayahnya.

Sang istri yang berada di sebelahnya pun tersenyum. "Ayah pengin cepet-cepet punya cucu. Wajar, Ris, orang tua begitu."

Ponsel Karis dalam saku kembali bergetar. Kali ini panggilan telepon. "Yaelah Mario, ngapain sih si kunyuk ganggu aja!"

"Nggak boleh gitu, Ris. Angkat aja!"

Karis pun menurut. "Apa, Yo? Ganggu aja!"

"Pak Karis!!! Ya ampun!! Indah ya bulan madu?" kata Mario

"Iya indah. Kamu ganggu aja!"

"Saya sama yang lain lagi jengukin Valeria ini. Operasi terakhirnya lancar. Habis ini kulitnya mulus lagi." Mario mengarahkan kamera ponselnya ke sekeliling ruang rawat. Ada Val yang sedang terbaring, Doni, Abdul, Candra, Komandan Salim, dan tentu saja Jassen.

"Ponakan aku udah jadi belum, Ris?" Doni bertanya, membuat Karis menghela napas panjang. Semua orang saja menanyakan soal anak! Meresahkan!

"Kantor berasa hampa tanpa Pak Karis," kata Mario.

"Bilang aja kamu seneng udah nggak ada lagi yang galakin kamu semenjak saya mengundurkan diri lagi!" sahut Karis ketus.

"Ya... Iya sih." Respons Mario mengundang gelak tawa.

"Jassen katanya mau nyusul nikah juga sama Valeria tahun depan,"ucap Abdul. Terlihat mata Jassen yang melotot melayangkan protes.

"Lama banget tahun depan! Keburu Val disambar orang! Cari yang lain aja, Val, kalau Jassen nggak serius! Sama Mario juga boleh."

"Woi! Amit-amit! Serius aku tu. Baby, aku serius, kamu jangan pindah ke lain hati ya, apalagi sama Mario."

"Yaelah si kokoh! Bucin!" ledek Mario.

"Kayak kamu enggak aja, Yo! Pacar kamu baru kan?"

"Mario punya pacar?"

"Iya, dia deketin cewek yang waktu itu pas nangkep Aliando!" jawab Jassen.

"Sudah-sudah. Kalian ini ganggu Karis lagi sama istrinya. Sudah! Tutup teleponnya biar cepet jadi itu Karis junior," kata Komandan Salim.

"Astaga! Nggak kebayang Karis junior! Semoga mirip Dokter Alma aja ya, Ris."

"Sialan! Udah. Aku tutup!"

"Kok ditutup?" tanya Alma saat Karis sudah kembali menyimpan ponselnya dalam saku.

"Males. Pada ngomongin anak terus, sama kayak ayah."

"Itu namanya mereka perhatian sama kita."

"Ya tapi nggak ngeburu-buru juga. Aku kan masih mau seneng-seneng berdua sama kamu." Karis meletakkan kepalanya di bahu Alma dengan manja. Dia menggerak-gerakkan kepalanya di ceruk leher sang istri yang tertutup hijab, seperti bayi.

"Belasan tahun kamu kenal aku, sama-sama aku, emang belum puas?"

"Belum," jawab Karis dengan nada merengek, membuat Alma terkekeh geli.

"Tahun depan umurku tiga puluh loh! Nanti keburu rahimku nggak berfungsi kalau nungguin kamu begini terus."

Karis menegakkan tubuhnya. "Alma, ngomong apa sih?" Karis merengut. "Udahlah! Aku nggak mau bahas itu." Karis pun bangkit dari duduknya.

Menyadari sang suami yang merajuk, Alma pun ikut bangkit. Dia memeluk Karis dari belakang. "Sayangku ngambek," katanya.

Karis mengurai pelukan Alma kemudian berbalik. Dia menatap mata istrinya itu lekat. "Biar aku bahagiain kamu dulu dengan semua yang aku punya sebelum kamu direpotkan dengan popok bayi dan tangisannya yang menyita waktu."

"Jadi?"

"Kasih aku waktu tiga-empat bulan lagi ya? Setelah itu, baru kita bahas soal anak. Please, aku masih mau kamu seutuhnya."

"Terlambat," kata Alma sambil menahan senyum.

Karis mengernyit. "Terlambat? Maksud kamu?"

Alma meraih tangan Karis kemudian meletakkannya tepat di perutnya. "Dia udah ada di sini."

Karis terperangah. Dia kehilangan kata-kata. "Ka-kamu ... Serius?"

Alma mengangguk. "Masih mau nunggu tiga sampai empat bulan? Terus ini mau diapain?"

"Ya Allah istriku hamil!" Karis tidak bisa menahan pekikan. Dia langsung memeluk Alma erat.

"Gimana dong?" Alma bertanya lagi.

"Aku takut, aku ragu, tapi aku ... Aku bahagia sekali karena dia sudah ada di perut kamu."

Karis tiba-tiba mengurai pelukan. "Kamu kapan ngeceknya? Kok nggak bilang aku? Harusnya kamu nggak boleh naik pesawat kemarin. Kalau terjadi apa-apa gimana?

Alma menggeleng. Sepertinya dia harus bersiap setelah ini Karis akan menjadi semakin posesif.

"Nggak akan kenapa-kenapa. Anakku kuat kayak ayahnya."

Karis tersenyum kemudian mengecup kening Alma begitu lama. Dia lalu berbisik, "Aku cinta kamu, Al. Cinta kamu, sangat."

***

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menamatkan cerita ini 😍
Oiya, aku mau tanya, adakah dari kalian yang baca semua karyaku di wattpad ini termasuk ceritaku yang bergenre romansa?
Kalau iya, aku mau minta pendapat. Menurut kalian, aku lebih cocok nulis cerita yang bagaimana?
- cerita fiksi kriminal yang rumit seperti Karis gini
Atau
- cerita romansa dengan konflik slice of life macam ceritanya Sakti-Seruni?

The New Chapter (Sekuel Beyond the Mission)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang