6.

681 97 55
                                    

Segelas vodka nampak menganggur diatas meja barterder sebuah klub. Ditemani dentuman musik nan menghujam indra pendengarannya bertubi-tubi, pria berkemeja putih dengan lengan digulung se-siku itupun menunduk dalam, melebihi dalamnya lautan pikirannya saat ini.

Apakah hanya dirinya anak berusia awalan kepala dua yang harus menanggung beban sebanyak ini? Selain melakukan tanggungjawabnya sebagai pelajar, ia juga harus memikirkan kondisi kedua orangtuanya yang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Sudah tak ada harapan, Kenzo menjambak rambutnya kebelakang frustasi seraya menggeleng kuat.

Tak seharusnya ia datang kerumah hari ini.

"Katanya malam minggu mau nginep dirumah mama, tapi kok malah kesini?"

Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi ketenangan nan baru saja ia ciptakan sendiri barusan. Usapan sekilas pada punggungnya berhasil membuat Kenzo mengangkat kepala untuk melihat siapa yang datang. Yah, walaupun indra pendengaranya masih tergolong cukup baik untuk mengidentifikasi suara seseorang, namun ia tetap ingin memastikan bahwa yang berada disampingnya saat ini adalah teman sekamarnya sendiri, alias Brian.

"Lo disini ternyata?" Balas Kenzo seadanya.

"Ya iyalah. Pas lo bilang kalau lo lagi di klub deket rumah nyokap lo, ya gue langsung kesini. Memangnya dimana lagi klub deket rumah nyokap lo kalau bukan disini? Iya kan?"

Kenzo menoleh kearah Brian dengan mata sayu ala-ala orang setengah sadar, "Naik apa lo kesini?" Tanya Kenzo lagi.

"Motor. Kenapa memang?"

"Bagus..." Pria berkemeja putih itu mengacungkan ibu jarinya seraya mengangguk lemah dan kembali meneguk minumannya sampai habis. Bisa Brian lihat sendiri, Kenzo sudah mulai menyentuh batas limitnya, dan hal itu merupakan kejadian langka dihidupnya. Jika sudah begini, tandanya Kenzo benar-benar sedang frustasi sekarang.

Ia ingin bercerita bebas, ingin jujur, lalu melupakan segalanya. Itu saja.

"Ada masalah apa si Zo? Sampai segininya?" Tanya Brian khawatir.

"Biasa, ortu gue."

"Astaga, udah masalah dari jama jebot. Bukannya lo udah kebal sama ini semua? Kenapa juga masih sedih gara-gara masalah orangtua lo? Sampai mabuk gini lagi."

"Gue gak mabuk sumpah."

"Coba cek dulu, bisa jalan lurus gak?"

"Anjir, lo bener-bener kayak guru matematika gue di sekolah dulu tahu gak!?"

Brian tertawa dan menepuk bahu sahabatnya itu cukup keras, membuat yang ditepuk sempat terhuyung sedikit kesamping lalu tertawa atas percakapan mereka barusan. Syukurlah, Kenzo tipikal manusia yang masih nyambung diajak bicara sekalipun sudah dibawah pengaruh minuman nan diteguknya barusan.

"Tumben lo lama banget dirumah nyokap lo? Berangkat tadi pagi, sampai sekarang belum balik-balik ke apartemen," Brian merogoh saku celananya untuk meraih sebungkus rokok sebelum memulai aktivitas rutinnya sebagai perokok aktif. Membiarkan kebulan asap yang diciptakannya bersatu-padu dengan asap-asap rokok lain. "Kesambet apaan lo Zo?" Tanya pria itu lagi.

"Gue ngobrol sama bi Alan berjam-jam ditaman. Makanya bisa lupa waktu."

"Terus nyokap lo?"

"Ya biasa."

"Definisi biasa itu ada banyak coy, jangan bikin gue mikir malem-malem lah... ngerepotin aja lo jadi orang." Brian menjepit ujung puntung rokoknya dengan kedua bibirnya yang dilipat kebelakang, membiarkan puntung rokok tersebut menjadi korbannya malam ini. Biarlah, ia memang suka begitu.

Sampai TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang