13.

554 86 16
                                    

"Syukurlah lukanya tidak terlalu dalam, pasien hanya membutuhkan beberapa jahitan serta donor darah akibat kejadian tersebut. Beruntung, pasien segera ditemukan dan dibawa ke rumah sakit, sebab jika terlambat sedikit saja, bisa jadi kemungkinan terburuk akan menimpa pasien." 

"Terimakasih Dok." 

Pria dengan seragam operasi serta masker medis diwajahnya itu nampak mengangguk dan pamit untuk meninggalkan Kenzo di depan pintu operasi. Selepas kepergian sang dokter, Kenzo langsung menjatuhkan tubuhnya diatas kursi tunggu, dan meyandarkan kepala pada dinding dibelakangnya. Hampir saja jantungnya berhenti berdetak. 

Jika tadi sang mama tak tertolong, mungkin Kenzo juga akan bingung alasan dirinya meneruskan hidup di dunia ini. 

Kenzo menyalakan layar ponselnya dan waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, waktu dimana biasanya ia sudah beristirahat, mengerjakan tugas, atau menghilangkan penat di klub. Namun kini, siapa sangka jika raganya berada di sebuah ruang tunggu rumah sakit dengan tubuh yang terasa lemas, hati dan pikiran tak karuan karena memikirkan banyak hal. Tak lama setelah itu, muncul notifikasi dari Brian sahabatnya, memberi kabar bahwa pria itu sudah sampai di rumah sakit. 

'Gw bawa makan malam' kata pria itu. 

Kenzo tak membalas pesan Brian, ia hanya menatapi langit-langit lorong rumah sakit dengan tatapan sendu tak bergairah. Kejadian tadi itu benar-benar definisi memasrahkan diri terbesar yang pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya. Merelakan takdir kepada Sang Maha Kuasa atas hidup mamanya yang malang, sembari mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tentu saja antara hidup dan mati sang mama tercinta. 

"Kenzo?"

Suara yang memanggil namanya itu bukan milik Brian. Kenzo tahu siapa yang datang dan memanggil namanya barusan. Maka dari itu ia tak menoleh dan menganggap panggilan tadi seperti suara dari roh lain nan tak perlu digubris. Sampai akhirnya pria berjaket coklat tua itu duduk dihadapannya, mau tak mau Kenzo menatap paras sang papa yang terlihat sangat menjijikan dimatanya.

"Makan dulu..." Pria itu bersuara lagi. 

"Boleh geser sedikit gak duduknya? Ngotorin pemandangan aja." Kenzo nampak melirik kesamping, pertanda mengusir. 

"Kamu sudah menunggu berjam-jam disini, jaga kesehatanmu." 

"Ini sudah tanggungjawab saya, menjaga mama sampai sembuh. Berbeda dengan orang satu itu. Istrinya sekarat, tapi malah menghilang entah kemana," Kenzo menoleh kesamping dan tiba-tiba matanya terasa panas, "Mungkin nidurin selingkuhannya dulu kali?" Sambungnya lagi. 

"Kenzo, aku ini masih papamu!" 

"Terus?"

Tak ada balasan, sepertinya pria paruh baya itu juga bingung harus menjawab apa atas respon Kenzo yang sudah terlampau dingin padanya. Bahkan, bisa jadi kedepannya akan lebih dingin lagi. Jujur, di lubuk hati yang terdalam, ia tak mau hubungan bapak dan anak antara dirinya dengan pria berusia 21 tahun dihadapannya menjadi seperti ini. Namun disisi lain, ia juga tak tahu harus memperbaiki kesalahan mulai dari mana. 

"Ken?"

Kali ini Kenzo menoleh ke arah sosok nan memanggil namanya. Seorang pria dengan luaran kemeja kotak-kotak berwarna merah nampak berdiri di ujung lorong, membawa satu kantong plastik berisi makanan cepat saji. Langsung saja, Kenzo bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri Brian, meninggalkan sang papa tanpa berpamitan sedikitpun. 

Kebalikan dari sang papa, bagi Kenzo hubungan ini jauh lebih baik daripada harus bersiteru acap kali mereka bertemu. Karena korbannya nanti bukan lagi dirinya atau pria brengsek satu itu, melainkan sang mama. Dan Kenzo tak mau kejadian seperti ini terulang lagi untuk kesekian kalinya. 

Sampai TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang