Seorang gadis berkulit seputih salju terlihat berjalan memasuki sebuah café bernuansa minimalis yang terletak dipinggir kota. Dengan penampilannya yang terkesan sederhana dan polos, ia membuka pintu café nan terbuat dari kaca, lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan demi mencari manusia-manusia nan sangat familiar dimatanya. Ya, siapa lagi kalau bukan sahabat-sabatnya?
"Gita!" Suara seruan Amanda sontak mengalihkan pandangan gadis berkepang dua itu dari sisi kiri ke sisi kanan ruangan. Ia bisa melihat seorang wanita dengan sweater berwarna ungu tengah melambai tinggi padanya dari salah satu meja dekat jendela. Tanpa perlu basa-basi, Gita langsung berlari kecil menghampiri meja tersebut dan duduk disana.
"Mana Julia?" Tanya Gita begitu duduk diatas sofa disamping Arzie yang juga sudah berada disana terlebih dahulu bersama Amanda.
"Nyusul, biasa... anak magang sibuknya bukan main." Respon Arzie langsung.
"Oh, oke..." Gita mengangguk paham dan langsung menatap kedepan, yaitu kepada Amanda nan sedari tadi hanya memandangi rupa kedua sahabatnya tanpa berkutik sedikitpun. Gita tersenyum, lalu membuka suara, "Manda, jadi gimana hubungan lo sama Kenzo?" Tanya Gita langsung.
"Sht! Jangan bahas Kenzo, Amanda gamau bahas-bahas perihal itu!" Arzie menyenggol bahu Gita menggunakan bahunya pelan. Pria bermata minimalis itu juga sempat mengambil lirik kepada teman wanita dihadapannya tersebut, namun Amanda hanya menghembuskan nafas panjang dan memajukan bibir bawahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Jadi gimana Man?" Tanya Arzie yang akhirnya menanyakan hal yang sama. Tentu saja hal itu membuat Gita refleks mencibir sahabatnya yang menjilat ludah sendiri itu.
"Gatau deh, pusing gue. Rasanya tuh kayak seneng..." Manda tersenyum, membuat dua manusia dihadapannya juga ikut tersenyum sama sepertinya, "Tapi disisi lain gue juga takut." Kalimat itu sontak membuat kedua bahu Gita dan Arzie turun lesu mendengarnya.
"Takut kenapa?" Tanya Gita penasaran bercampur prihatin.
"Takut kalau Kenzo bohong mungkin?"
"Memangnya ada kemungkinan kalau dia bohong?" Tanya Gita lagi.
"Manusia pasti bisa berbohong Git. Gue gak masalah kalau dia bohong, tapi gue takut kalau gue gak bisa membereskan diri gue sendiri nantinya. Jangan sampai gue termakan perasaan sendiri sampai akhirnya buta sama kenyataan dan masuk kedalam perangkapnya."
"Kenzo gak mungkin kayak gitu." Respon Arzie langsung.
"Zie, lo harus inget... Kenzo yang kita kenal saat ini bukan lagi Kenzo yang dulu. Bahkan berdasarkan penuturan Amanda, kita gak nyangka kan kalau ternyata dia anak pemilik klub malam ternama diseluruh negara ini, ya kan? Padahal dulu kita yakin banget kalau dia bukan bagian keluarga Ardinata yang kita maksud." Respon Gita panjang lebar.
"Benar juga."
"Sama identitasnya dia sendiri aja dia bisa bohong, gimana sama hal-hal kecil kayak gini? Bisa jadi dia mau mainin Amanda dan bilang kalau statusnya sekarang tidak bertunangan. Bisa kan?"
"Nah, sekarang keputusan di lo deh Man, lo mau terus mempertahankan perasaan lo ini, atau... menyudahinya sekarang juga?"
Amanda tersenyum simpul dan mengulum bibirnya singkat. Apa yang dikatakan Arzie, sama persis seperti yang Kenzo katakan padanya beberapa bulan lalu. Bahwa titik dalam kehidupannya harus ia tentukan sendiri bagaimana akhirnya, bukan justru memasrahkan semua sampai titik itu muncul dengan sendirinya. Lagipula, ini kisah pada buku kehidupannya. Kenapa juga harus orang lain yang memberi akhiran? Iya kan?
"Selama liburan semester ini, kayaknya gue bisa perlahan-lahan ngelupain dia..." Jawab Amanda.
"Yakin? Beneran ngelupain tanpa cuma-cuma nih?" Tanya Arzie memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Titik
أدب المراهقينSemua orang memiliki awalan kisah mereka masing-masing, namun tak semua orang mengakhirinya sampai titik. Berbeda denganku, aku akan mengakhiri perasaan ini sampai titik terujung dalam kisah kehidupanku, terlebih lagi bab tentang dirinya. Bukan, buk...