"Tidak ada masalah serius yang terjadi pada Kenzo. Memang masalah keluarganya cukup memberikan dampak serius, apalagi saat itu Kenzo tengah memasuki usia pubertas yang sedang mencari jati diri. Ketika Kenzo membutuhkan teman cerita, tempat tuk bertanya, orangtua yang seharusnya bertugas untuk memenuhi itu semua justru tidak berperan bagaimana semestinya. Namun sekarang kalau saya lihat hasilnya... hm, oke kok?"
Kenzo tersenyum simpul dan menunduk sebelum menoleh kepada seorang wanita nan duduk disebelahnya saat ini. Berbeda dengan Kenzo yang terlihat bahagia seperti lolos dari jeratan sesuatu, Amanda justru nampak bernafas lega walau masih tersirat kegelisahan dari raut wajahnya.
"Memang masih diperlukan konsultasi dua atau tiga kali, tapi tenang saja, tidak ada masalah serius kok." Dokter wanita itu nampak menenangkan kedua sejoli dihadapannya tersebut.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Kan aku udah bilang, aku ini baik-baik saja Amanda Purnama Cahya."
Tak henti-hentinya Kenzo memandangi raut wajah penuh kekhawatiran Amanda yang diberikan untuknya. Gadis itu terus-terusan memegang telapak tangan Kenzo dan memainkan jemari tangannya diatas sana. Sesekali ia mengusap bekas luka pada pergelangan tangan pria itu, menekan-nekan pelan buku-buku jari Kenzo, seolah menunggu sebuah rintihan dari mulut sang kekasih. Namun nyatanya, Kenzo tidak merasakan apapun atas tindakan jemari tangan Amanda.
"Nih, aku kasih tahu kamu ya," Kenzo yang sedari tadi duduk bersandar pada kursi besi nan menjadi tempat duduknya saat ini, seketika memajukan tubuhnya tuk menunjuk telapak tangannya yang masih dipegang-pegang Amanda diatas meja café tersebut. "Aku pernah ikut kelas tinju waktu kelas 3 SMP, lumayan lama sampai menciptakan bekas seperti ini disini. Bukan cuman ditangan ini aja, di yang satu lagi juga kok. Cuman, karena kekuatan aku ditangan kanan, jadinya disini lebih ketara gelapnya." Kenzo membandingkan buku-buku jari pada kedua tangannya, dan ia tersenyum begitu Amanda mengangguk paham akan penjelasannya barusan.
"Kalau masalah kulit telapak tangan yang terkelupas kayak begini, katanya bi Alan sih paling karena jarang minum air putih, jadi kamu gak perlu khawatir."
"Ish! Air putih itu penting tahu! Bisa-bisanya kamu anggap sepele!" Dumel Amanda kesal.
Lagi-lagi raut wajah Amanda berhasil membuat seorang Kenzo Ardinata tersenyum. Pria itu mengusap bibirnya pelan menggunakan tangannya yang bebas dari jangkauan gadis tersebut, dan ketampanan pria satu itu seketika bertambah ketika angin bertiup sedikit kencang menerbangkan surai hitamnya nan membuat ketampanan pria itu seolah terpampang nyata di depan Manda saat ini.
"Kalau yang ini kenapa?" Manda menunjuk sebuah bekas luka pada pergelangan tangan pria itu. Kenzo yang tadinya sudah mau duduk bersandar lagi, kini kembali mencondongkan tubuhnya kedepan demi melihat hal apa lagi yang hendak Amanda tanyakan kepadanya. "Oh, ini..." Kenzo mengulum bibirnya dan melirik Amanda dengan tatapan canggung, "Mungkin yang ini agak sedikit parah sih. Tapi ini luka lama, aku aja lupa punya luka disini."
"Iya tahu, tapi luka apa?" Tanya Amanda yang mode protektif dalam dirinya sedang menyala-nyala.
"Aku yang ngelukain tanganku sendiri pake pisau waktu itu," jawab Kenzo dengan mudah.
"Kenapa kamu ngelakuin itu?"
"Karena aku melihat mamaku kritis gara-gara melukai pergelangan tangannya dulu, jadi aku mau tahu seberapa sakit luka yang mama rasakan sampai harus berada di situasi genting kemarin. Ternyata, sakit sekali," ujar Kenzo sembari menggenggam telapak tangan Manda, lalu mengusapnya lembut menggunakan ibu jari tangannya. "Saking sakitnya, aku gak mau lagi ngelakuin itu."
"Iya, cuman orang bodoh yang mau menyakiti dirinya secara cuma-cuma," ucap Manda dengan seru nafas yang tak karuan, "Sekalipun orang itu adalah tante Imara, tapi maaf banget kalau aku bilang tante Imara terlalu bodoh karena sampai melakukan tindakan seperti itu." Amanda menggelengkan kepalanya lemah, dan tiba-tiba Kenzo menarik tangannya dan mencium jemari tangan Amanda sampai bertubi-tubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Titik
Teen FictionSemua orang memiliki awalan kisah mereka masing-masing, namun tak semua orang mengakhirinya sampai titik. Berbeda denganku, aku akan mengakhiri perasaan ini sampai titik terujung dalam kisah kehidupanku, terlebih lagi bab tentang dirinya. Bukan, buk...