Kecanggungan tidak pernah datang dengan sendirinya, pastilah ada sesuatu yang terjadi sehingga itu semua tercipta. Sama hal seperti yang terjadi pada sepasang suami istri di ruangan nan sunyi ini. Imara terus menatap pergelangan tangannya yang dipasang infus, sementara Marteen masih belum bersuara hingga detik ini. Padahal tadi ia yang meminta masuk kedalam, namun sekarang pria paruh baya itu hanya duduk terdiam disamping bangsal pasien.
"Aku sudah bilang pada Kenzo kalau kita akan bercerai."
Entah mimpi buruk atau bukan, namun Imara yakin bahwa kata-kata yang terucap dari mulut sang suami adalah kenyataan nan baru saja menampar kedua pipinya. Wanita itu masih membungkam mulut, belum bersuara atau memberi respon.
"Sama seperti yang kamu pikirkan. Kehidupan Kenzo akan semakin menyedihkan jika memiliki orangtua seperti kita. Tapi, mati berduapun bukan jawaban yang Kenzo inginkan. Maka dari itu, aku akan mengurus perceraian kita, dan setelah itu semuanya akan perlahan-lahan pulih seperti semula." Marteen mengulum bibirnya dan menoleh kepada wanita nan berada dihadapannya ini. Imara masih belum membalas tatapan matanya, ia hanya menatap lurus kedepan, seolah enggan menatap manik mata Marteen barang sedetikpun. "Kenapa kamu diam?" Tanya pria itu setelahnya.
"Kamu selalu seperti ini." Akhirnya wanita itu bersuara, meski terasa getaran hebat disetiap katanya.
"Maksudnya?" Tanya Marteen tak mengerti.
"Dari dulu, kamu selalu menyimpulkan semuanya sendirian. Aku kira, setelah delapan tahun akan ada perubahan dari dalam dirimu Marteen, tapi ternyata tidak, kamu masih sama," Imara menjeda kalimatnya dan menoleh membalas tatapan mata sang suami nan masih setia mengarah hanya kepadanya saja saat ini, "perceraian bukan suatu hal yang bisa diputuskan hanya dengan satu pihak saja. Selain membutuhkan persetujuan kamu, persetujuanku juga harus ada." Imara menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan seraya mengusir segala sesak dan emosi jiwa nan mulai menghampiri wanita paruh baya tersebut.
"Untuk apa aku meminta persetujuan kamu, kalau nyatanya kamu pun menginginkan perceraian ini kan pastinya?"
"Siapa yang bilang begitu?"
"Siapa yang bilang begitu? Ck!" Marteen berdecak pelan dan tersenyum miring mendengar jawaban Imara barusan, "Wuah, kamu sedang memaksaku untuk membuka semua kesalahanku di depanmu ya ternyata? Memberi tahu bahwa kamu adalah wanita paling kuat yang rela bertahan dikala suaminya bermain dengan wanita lain, berselingkuh, meninggalkan rumah sampai bertahun-tahun. Begitu?" Tanya Marteen kepada Imara, "Siapapun wanita di dunia ini, pasti ingin bercerai dengan suami yang modelan seperti ini, Imara."
"Ya, kamu benar."
Hanya itu kata yang keluar dari mulut wanita cantik tersebut. Tatapan matanya yang sayu membuat siapapun netra nan bertemu mata dengannya pasti luluh seketika. Termasuk Marteen, pria paruh baya itupun ikut terdiam ketika Imara menjawab perkataan panjangnya dengan kalimat paling sederhana dan bahkan iapun sangsi bisa menyebut jawaban itu sebagai kalimat atau bukan.
"Terus, kenapa kamu tadi jawab begitu?" Tanyanya pada Imara dengan lembut.
"Karena aku tidak mau perceraian ini hanya menjadi celah buat kamu untuk lepas dari rasa bersalah yang kamu rasakan terhadap Kenzo. Kamu harus jelaskan alasan dibalik perceraian ini, alasan kenapa kamu menghilang selama ini, alasan kenapa kamu setega ini sama aku dan Kenzo," Imara menggelengkan kepalanya pelan dan memejamkan mata kuat-kuat sebelum kalimat selanjutnya tercetus keluar dari bibir wanita itu, "Kamu sendiri yang dulu bilang kalau tidak ada kata perceraian dalam kamus pernikahan kita. Lalu sekarang, kamu juga yang seenaknya meminta bercerai. Lucu kan?"
Marteen mengangguk, ia tidak bisa mengelak sebab kenangan-kenangan itu masih tersimpan rapat di memorinya saat ini. Bahkan ia bukan hanya sekali atau dua kali menyebutkan kalimat atau janji tersebut, tapi berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Titik
Teen FictionSemua orang memiliki awalan kisah mereka masing-masing, namun tak semua orang mengakhirinya sampai titik. Berbeda denganku, aku akan mengakhiri perasaan ini sampai titik terujung dalam kisah kehidupanku, terlebih lagi bab tentang dirinya. Bukan, buk...