Perkataan Kenzo untuk menghitung bintang tadi, sepertinya harus ia tarik lagi karena menghitung bintangpun ternyata sama menjengkelkannya seperti mengingat-ingat kapan terakhir keluarga kecilnya makan malam di meja yang sama. Dihembuskannya asap rokok itu dari mulut lalu menghela nafas seiring sisa asap lain keluar pula dari kedua lubang hidungnya. Malam yang menyedihkan, tapi malam-malam sebelumnyapun sama menyedihkannya bagi Kenzo.
"Gue turut prihatin atas kejadian yang menimpa lo. Tapi, selama lo masih bisa beli rokok sama isi bensin buat mobil mahal lo itu, kayaknya kondisi gue yang jauh lebih memprihatinkan disini." Brian meletakkan satu kaleng bir di tepian jendela dimana Kenzo berada sekarang, mendudukkan tubuh disamping pria itu dan meneguk sekaleng bir miliknya sendiri. "Kenapa gue selalu berfikir kalau lo itu berada di pihak nyokap lo? Memangnya sudah pasti bokap lo yang salah?" Tanya Brian pada akhirnya.
"Jelas dia yang salah, dia yang ninggalin rumah, Bri."
Brian meneguk minumannya dan mengulum bibir sekilas, menatap ragu kepada Kenzo nan tengah menatap ke arah langit dengan sorot bermakna ganda. Bisa jadi teman sekamarnya itu sedang sedih, atau mungkin juga lebih bahagia daripada yang pria itu kira. Ayolah, mereka sudah bersama bukan dalam satu bulan dua bulan, masalah keluarga Kenzo sudah menjadi kepingan puzzle nan satu per satu mulai menciptakan sebuah gambaran jelas bagi Brian. Bagaimana tidak? Setiap makan malam pasti mereka akan menyinggung topik satu itu.
"Gimana kalau ternyata sebaliknya? Sorry sebelumnya... tapi selama ini bokap sama nyokap lo gak pernah cerita sama lo tentang masalah mereka berdua kan? Apa yang lo ceritain ke gue itu berdasarkan pemikiran lo sendiri yang lo rangkai sendirian. Jadi, kita gak bisa menghakimi seenak kita kan Zo?"
"Tapi gue punya insting Bri."
"Jadi, lo percaya sama insting lo?"
"Sepertinya... iya."
Terdengar helaan nafas dari Brian pada detik setelahnya. Pria bertubuh jangkung itu nampak melipat kakinya dan menoleh kembali kepada pria nan tengah membuang abu pada ujung rokok ditangannya. "Cepat atau lambat, gue rasa lo perlu bicarakan ini sama orangtua lo Zo. Gue bicara kayak gini bukan karena mau ikut campur atau berusaha menyatukan orangtua lo, itu semua bukan kapasitas gue. Disini, gue bicara sebagai sahabat yang mau lihat lo bahagia. Entah sebagai Kenzo atau Marty, tapi lo harus bahagia dari segala sisi diri lo."
Kenzo tersenyum dan kembali menatap keluar jendela, "Wuah, gue merinding dengernya." Ujar pria itu yang langsung mendapat jitakan kepala dari kepalan tangan Brian.
"Sebenernya bukan apa-apa sih. Tapi gue kasian aja lihat lo harus ganti kostum setiap pindah peran dari Marty ke Kenzo dan sebaliknya. Memangnya ada yang salah kalau Marty baca buku? Memangnya ada yang salah kalau Kenzo merokok? Kenapa juga lo harus terjebak dengan situasi aneh kayak gini sih? Hidup lo konyol banget sumpah!" Brian tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk meraih kotak rokok di dekat jendela. Namun dengan sigap Kenzo langsung mengangkat kotak tersebut dan menatap teman sekamarnya itu dengan tatapan bingung, "Mau ngapain lo?" Tanya Kenzo ketus.
"Bagi lah, pelit banget sih! Lo kalau mau beli pabrik rokok juga bisa Zo! Masa gue minta sebatang aja lo perhitungan!?"
Brian langsung merampas benda ditangan pria berkaos hitam itu dan mengambil apa yang ia inginkan tadi. Sementara Brian memulai kegiatan merokoknya, Kenzo nampak memandangi figur sahabat baiknya itu dari samping dengan senyuman samar nan bisa dimaknai ketulusannya dibalik sana.
"Bri." Panggil Kenzo.
"Hm?"
"Lo mau tahu alasan kenapa gue betah temenan sama manusia kayak lo?"
Brian mengangkat dagunya sekilas sebab mulutnya sedang dipakai untuk mengapit sebatang rokok. Sejujurnya ia tak mau tahu alasan mengapa pria berkehidupan aneh itu betah berteman dengannya. Sebab bagi Brian, mereka berdua bisa berteman karena dipertemukan oleh waktu dan keadaan. Bukan tipikal pertemanan yang dipaksakan, atau dibuat-buat seperti gaya pertemanan anak-anak orang kaya diluar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Titik
Teen FictionSemua orang memiliki awalan kisah mereka masing-masing, namun tak semua orang mengakhirinya sampai titik. Berbeda denganku, aku akan mengakhiri perasaan ini sampai titik terujung dalam kisah kehidupanku, terlebih lagi bab tentang dirinya. Bukan, buk...