Prologue

8K 483 179
                                    

"Nama?"

"... Antony Darmawangsa," jawabnya kikuk.

"Umur?"

"25."

"Anggota keluarga lengkap?" Pertanyaan lain terdengar dari sebelahku.

"Maksudnya?" Mata lelaki itu membesar, tampak kebingungan.

Kedua tanganku terlipat dan terus melihatnya yang duduk tegak di hadapanku. Rambutnya seluruhnya digel rapi dan poninya diatur menyamping ala polem. Ew!

"... Ayah, ibu, dan adik perempuan," jawabnya pada akhirnya.

Wanita sophisticated di sampingku tetap terdiam menunggu kelanjutan jawabannya seraya mengetukkan bolpoin di atas clipboard.

"... Hidup semua, kalau memang itu pertanyaannya," tambah pria itu lagi seraya mengembuskan napas.

Tanda checklist digoreskannya selesai mendapatkan jawaban yang diutarakan dengan terpaksa. "Tolong berdiri," perintahnya kali ini.

Kedua mata lelaki itu terbelalak lebar akan permintaan yang disampaikan barusan, akan tetapi ia akhirnya mematuhinya juga.

Kemeja putih berlengan panjang melekat di tubuhnya, kerahnya dikancing hingga mengikat lehernya. Celananya menggantung, memperlihatkan kaus kaki abu yang biasa dipakai bapak-bapak berumur. Ew, ew, ew!!!

Sang interogator beralih menatapku dan menggerakkan bolpoin yang dipegangnya, menyuruhku untuk berdiri di samping lelaki canggung yang tengah menghadiri interview. Ew! Do I have to?

Jelas ia bisa membaca isi pikiranku sepenuhnya yang enggan menuruti perintahnya karena perempuan kurang ajar di sampingku melotot besar dan parasnya tampak mengerikan. Sekali lagi ia menunjuk galak ke arah pria itu yang masih juga menatap kami berdua bergantian.

Aku mengeluh terlalu keras, sengaja supaya terdengar olehnya, bangkit berdiri dan berjalan ke arah si interviewee. Posturnya tinggi dan puncak kepalaku hanya sedikit melebihi pundaknya.

Selama beberapa saat tubuhku berdiri mematung di sebelahnya, jauh-jauh tentunya karena aku ogah berdekatan dengan makhluk ekstraterestrial satu ini. Beberapa kali aku membelalakkan netra kepada wanita menyebalkan yang sudah berani-beraninya mengaturku, mencoba memberikan isyarat bahwa secepatnya aku ingin segera enyah dari sini. Nihil, ia tidak juga bergeming. Gayanya seolah sedang menelaah dengan terlalu teliti, pandangannya terus menimang-nimang kepada kedua objek di hadapannya ini.

"Tinggi badan?" Wanita itu sekali lagi bertanya.

"... 185."

"Berat badan?"

"Hah?"

Tok ... tok ... tok ...

Kembali kudengar ketukannya di atas papan.

"Berat badan?!" tanyanya lagi. Nadanya bertambah emosi karena terus mengulangi pertanyaan.

"... 55."

"MY GOD!"

Tanpa sengaja, akhirnya teriakan keterkejutan keluar juga dari dalam mulutku, tidak percaya akan ketidakseimbangan beban dengan ketinggian yang dimilikinya. Pantas saja tubuhnya kurus kering kerontang, tidak menarik untuk dipandang mata.

"Dari sekian banyaknya pertanyaan, yang menarik perhatian Anda cuma berat badannya?" tanya sekretaris pribadiku.

Kusipitkan kedua mata ke arahnya, menunjukkan sikap ketidaksukaan akan sindirannya. Kembali aku duduk di atas kursi di sampingnya dan sekali lagi menatap lelaki geeky itu. Ew, ew!

Aku berdeham, berusaha bersikap profesional. Kutendang pelan wanita di sampingku, sepatuku hinggap pada pangkal betisnya.

Ia membuang napas dengan keras seraya menepis kulit tempat kakiku barusan berpijak. "Silakan," katanya dengan nada yang dipaksakan sedikit sopan, mempersilakanku untuk bicara.

Pria itu masih tetap menjulang tinggi bagaikan pohon cemara.

"Buka," perintahku singkat.

"... Maaf?"

Kuarahkan jari telunjuk kiriku ke arah mata dan kugerakkannya ke bawah. "Kacamata. Buka."

Diturunkannya dengan perlahan lensa tebal yang sejak tadi bertengger dan bagaikan slow motion, keaslian wajahnya tampak.

"UWOWWW!!!" respon kami berdua segera.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang