32. Nuclear Bomb

514 66 32
                                    

"Semua berjalan lancar, Bu. Bahkan melebihi ekspektasi. Tiga klaster langsung habis. Klaster yang dibuka saat ini sudah laku separuhnya," jelas Resti. "Beberapa hari ini juga konsumen baru terus menghubungi kita. Sebagian besar tertarik dengan tipe rumah menengah, namun tidak sedikit juga yang menanyakan tentang ruko. Mereka sangat antusias dengan produk yang kita pasarkan."

"Tercatat hingga hari ini, 20% baru membayar booking fee, 30% sedang pengajuan kredit, dan 40% sudah akad. 10% sisanya memilih sistem pembayaran tunai keras dan tunai bertahap," tambah Dhira.

"Apa sudah saatnya untuk dibuka klaster mewah kita, Bu? Banyak konsumen yang terus menanyakan perihal itu," tanya Resti.

"Jangan terburu-buru. Maksimalkan yang sedang berjalan saat ini. Pembangunan?"

"Se-semua sesuai jadwal, Bu. Tapi jujur, se-sedikit kewalahan. Ke-kelihatannya kita butuh tambahan kontraktor ba-baru. Ini daftarnya, Bu," kata Bakti seraya menyerahkan laporan. "Su-sudah dianalisa dan memenuhi syarat."

"Nanti sore laporan lagi," pintaku.

"Baik, kami permisi, Bu," ucap Resti dan Dhira berbarengan.

"... What?" tanyaku padanya yang masih berdiri di sini dan tidak juga beranjak pergi.

"Ma-maaf, Bu," mulai Bakti. Again, dia terbata-bata hanya saat bicara padaku. I mean, seriously. Aku tidak akan gigit! "... I-Ibu A-Amelia. Apa dia ti-tidak akan kembali?"

Kutatap wajahnya dengan kedua mata yang menyipit, kebiasaan yang selalu kulakukan ketika mencurigai seseorang. "Kenapa? Apa kamu ada hubungan sama dia?"

"Ga-gak ada, Bu. I-Ibu A-Amelia se-sebatas teman kerja," bantahnya gelisah.

"Kalo gitu, gak usah kepo. Kamu yakin bisa handle keseluruhan proyek?"

Jujur, aku sendiri tidak seratus persen yakin akan kemampuannya. Ingat? Saat ini statusnya masih berupa kandidat yang berkemungkinan untuk kujadikan kaki kanan. Tidak lebih dari itu.

"Sa-saya usahakan, Bu."

"Bukan usahakan, tapi harus bisa! Awas kalo sampe ada salah! Sonoh!" usirku.

"I-iya, Bu. Saya permisi."

Kring!

Baru juga ia berlari keluar, telepon genggamku berdering dengan keras.

"Siapa, Mel—"

Aku terdiam sejenak. Ah, aku lupa. Sudah beberapa hari ini ia tidak berada di sini. Dari semula tangan kanan, posisinya langsung jatuh bebas, bahkan tidak memungkinkan untuk kujadikan tangan kiri.

Tidak tahu terima kasih! Berani-beraninya dia berkomplot dengan Bakrie di belakangku. Nooo! I already miss Christian so much! Itu semua karena ibunya yang bodoh! Traitor! Pengkhianat! Penipu! Menyebal—

Kring!

Deringan keras masih juga terdengar dan sangat mengganggu.

"Berisik! Siapa?!" bentakku kasar menerima panggilan tanpa melihat nama yang muncul di layarnya.

"Liv! Lo beneran!"

Geh! Dia ternyata.

Padahal beberapa hari ini aku berusaha menjauhinya. Setiap hari, tiga kali sehari—sudah seperti minum obat saja—dia tidak pernah lupa untuk menghubungiku. Jelas, panggilannya tidak pernah kuangkat.

Belum juga married, sudah seperti ini. Menyebalkan sekali. Suka-suka aku, dong, mau ke mana juga. Apa urusannya sama dia?! Ditambah lagi, aku masih belum sepenuhnya percaya padanya yang katanya tidak tahu menahu dan tidak ada hubungannya dengan Bakrie. Kenapa? Karena itu semua munculnya dari mulut ex-sekretarisku yang tidak bisa kupercaya lagi.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang