9. Pink Bling Bling

1.8K 142 32
                                    

"Buka."
"Ahhh ...," desah Antony.
"Tahan sebentar," kataku.
"... Tapi—"
"Belum," potongku.
"... Ahhh ...," erangnya lagi.
"Sebentar!" perintahku galak.
"AHHH!" teriaknya dengan keras.

"Cukup!" pekik Amelia seraya membuka pintu kamar. Mukanya memerah dan telinganya panas membara.

"Apanya yang cukup?" Ibu jari dan telunjuk kananku masih menempel di wajah Antony, berusaha untuk membuka paksa matanya.

"Coba kalo suara kalian kedengeran tetangga atau wartawan. Gue udah bisa prediksi judul berita besok, 'OLIVIA HARTANTO BERBUAT MESUM DENGAN LELAKI MISTERIUSNYA'," katanya sambil bergidik merinding.

"Apaan, sih?!" tepisku salah tingkah. "Nih! Lo pake sendiri!" perintahku seraya memberikan kepada Antony sebelah contact lens yang barusan hinggap di jari telunjuk kiriku.

"Arghhh!" teriaknya. "Harus?" protes Antony mengeluh.

"Pake!"

Dengan wajahnya yang cemberut ia kembali menatap cermin meja rias. Gerakan tangannya yang aneh menekuk ke berbagai arah mencoba menempelkan lensa kontak ke bola matanya yang mana baru pertama kali dilakukannya. I mean, just melek, pasang aba-aba, terus dorong, lalu colok. Susah, yah?

"Jam?" tanyaku.

"18.35," jawab Amelia menatap layar telepon genggamnya.

Kuembuskan napas mendengar sisa waktu yang semakin menipis. "It's okay, it's okay," ucapku mencoba menenangkan diri. "Kita bisa sampe sana telat, terus langsung pulang. Bagusnya alesan apa, yah?"

"Bilang lo gak tahan, udah kebelet mau cepet-cepet berduaan sama calon suami?" jawabnya, segera menutup mulut ketika tatapanku yang keji mendarat pada wajahnya.

"Gue gak pernah setuju buat jadi calon suami!" teriak Antony selesai mendengar guyonan Amelia.

Bogemanku yang sudah siap menghantam sekretaris pribadiku serentak terhenti. "Uang sewa, tujuh bulan. Transfer sekarang."

Amelia menatap wajahku untuk beberapa saat, lalu beralih ke Antony yang diam membeku. Segera ia mengetikkan pesan pada telepon genggamnya untuk melaksanakan perintah yang barusan kusebut.

"Lo pikir uang bisa—"

"Uang muka," kataku memotong ucapan Antony. "Sekarang setuju, bukan?" tanyaku dingin.

"LO—" Ucapannya kembali terhenti di saat Amelia menggelengkan kepala ke arahnya, memintanya untuk tidak melanjutkan perkataannya.

Emosiku bertambah menyadari kelakuanku barusan di mana menghalalkan segala cara menggunakan uang untuk meraih tujuan, persis ... seperti dia. "Argh! Udah gak usah pake!" teriakku pada Antony sebagai bentuk pelampiasan.

Wajahnya menoleh, menyipitkan kedua mata berusaha untuk melihat sosokku yang baginya buram. "Terus ... gue liatnya gimana? Kacamata, boleh?" tawarnya.

NOOO! Baru juga sebentar aku berhasil melenyapkannya, sekarang malah mau dipakai lagi?! Yang benar saja! Mana kacamatanya? Sini kuinjak-injak sampai mampus sekalian!

Kuembuskan napas sekeras-kerasnya seraya menatap wajahnya yang putus asa. "Jangan jauh-jauh dari gue," perintahku.

***

"Harus kayak gini?" tanya Antony canggung dan badannya berdiri jauh lebih tegak daripada biasanya.

"Kalo lo jatoh, muka gue nanti yang ditaro di mana!" bisikku galak.

"Udah kayak orang buta," keluhnya seraya membuang napas, sepenuhnya mengandalkan pegangan tanganku untuk berjalan.

Pesta sudah dimulai sejak tadi dan untungnya acara makan malam telah terlewatkan. Bulu kudukku berdiri membayangkan duduk bersamanya menikmati hidangan dibarengi tatapan mata keluarga dan sanak saudara, belum lagi dihujani berbagai pertanyaan. Bisa-bisa langsung KO, mati di tempat.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang