22. Red Canvas

717 88 20
                                        

"Lo apain anak gue?!"

"Hah?" balasku terhadap pertanyaannya yang aneh itu di telingaku. What did I do to him? Catat, waktu itu kan aku tidak berhasil mencium pipinya karena ia terus menolakku! Jadi don't you dare sue me for sexual abuse!

Kuinjak pedal gas dalam-dalam ketika lampu stopan berubah hijau supaya lebih cepat mencapai tujuan.

" 'Call Liv, ask Liv, Liv this, Liv that'. Chris nyariin lo terus!" jerit Amelia histeris, ditolak oleh anak semata wayangnya.

Oops! Sorry~. Aku tidak tahu kalau ternyata yang kulakukan mujarab sekali, bahkan ibu yang melahirkannya malah jadi yang kena dampak. My bad~.

Mau tahu rahasiaku? Bukan, aku bukan pergi ke dukun or shaman. Strawberry set! That's the secret. Cukup memberi Christian berbagai dessert dan minuman dengan rasa buah yang manis serta asam tersebut, walla! Bocah itu langsung nempel bak prangko kepadaku.

Memang sih, mainan yang kuberi tetap menduduki peringkat kedua, tidak bisa naik tingkatan. But it's okay. Sudah kupatahkan propeller yang sebelahnya lagi menjadi dua bagian sebagai bentuk balas dendam. Eat that!

"Cuma ditinggalin sebentar aja, gue nyokapnya dilupain—"

"F—ck!" umpatku di saat seekor kucing liar tiba-tiba berlari melintas. Kubanting setir kemudi dan segera kuinjak pedal rem. Untungnya posisiku saat ini sudah di area komplek perumahan sehingga sepi dan tidak ada pengendara lain yang berkemungkinan terkena dampak dari cara menyetirku yang ugal-ugalan.

Si empunya sembilan nyawa pembuat onar juga selamat dan malah membelalakkan kedua mata ke arahku, layaknya mencibir kalau hampir saja aku mencelakakannya. How dare you to stare at me like that. Kebalik, woi!

"... Coba ulangin. Lo bilang apa barusan?" tantang Amelia yang nada suaranya terdengar tinggi menandakan emosinya hampir menyembur keluar.

"Eh? Bukan. Bukan ke lo. Stupid cat!" umpatku masih dengan jantung yang berdebar-debar kesetanan.

"Gue sekretaris lo! Bukan kucing! Dan FYI, gue gak stupid!"

"Yea, yea, whatever. Ke mana lagi, chef gue?!" bentakku setibanya di rumah in one piece, unharmed and undamaged. Kendaraan beroda dua yang biasa diparkirkannya tepat di samping tempat berlabuhnya mobilku saat ini tidak tampak, kosong, cuma meninggalkan beberapa helai dedaunan kering di atasnya.

"Calon suami! Bukan chef! Berapa kali lo harus diingetin, sih?!" teriak Amelia yang keras menghantam gendang telingaku dengan kuat. "Teleponin, lah, kalo emang kangen ... wait. Jangan bilang, lo masih gak punya nomer dia?!"

"Gak," jawabku singkat dengan nada yang super menyebalkan. Hebatnya, aku sendiri bisa menyadari tingkahku yang kekanak-kanakan.

"Nih, gue kasih nomernya seka—"

Kusudahi teleponnya untuk menghentikan ocehannya yang nyaring. Huh! Berisik!

Suara mesin yang barusan berderu kencang lenyap seketika dan tubuhku kubawa turun, melangkah keluar dari sejuknya udara di dalam yang ber-AC dan segera saja sinar matahari yang terik menusuk pori-pori kulit dengan menyengat. Aneh, padahal kemarin malam hujan angin, tapi kenapa siang ini gerah sekali?

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang