8. Official

2.2K 169 30
                                        

"Hebat. Hebat." Nadanya datar, kalimat yang keluar dari mulutnya kusadari sepenuhnya bukan berupa pujian. Amelia berpura-pura terkesima seraya bertepuk tangan dengan terlalu berlebihan. "Tiga hari berturut-turut nama lo muncul di halaman paling depan semua surat kabar. Good job," ujarnya seraya mengacungkan dua buah jempol.

Kuembuskan napas dengan keras sambil memukul-mukul meja. "Kenapa jadi gini ...."

"Liat, sebentar lagi pasti dateng," prediksinya yakin. "Three ... two ... one!" Hitungan mundur dimulainya bagaikan saat New Year's Eve di setiap penghujung akhir tahun.

Brak!

Dan benar saja, sosoknya muncul menggantikan kehadiran terompet dan kembang api. Yang sama hanya kegaduhan suara yang ditimbulkannya di mana sanggup membuat telingaku berdenging. Ugh!

"LO LAGI!!!" teriak Bima penuh emosi. Dilemparkannya surat kabar dan bertambahlah satu lagi kertas koran di atas meja—"OLIVIA HARTANTO, PEWARIS TUNGGAL KEKAYAAN HARTANTO, DIKABARKAN TELAH TINGGAL SATU ATAP DENGAN CALON SUAMINYA."

Terbukanya daun pintu sekali lagi diiringi dengan kehadiran dua staf kepo yang selalu tampak berusaha menguping pembicaraan. Eh, lupa, pengumuman pemecatan mereka! D—mn! Kupastikan di luar sana pandemic virus rumor mengenai diriku dengan Antony sudah menyebar luas ke seluruh penjuru kantor.

"Lo lagi, lo lagi, LO LAGI! MAU CABUL, MAU ASUSILA, KENAPA FOTO LO TETEP MUNCUL?!" jeritnya seperti orang gila. Saking terlalu narsistik, Bima bahkan tidak menyadari kata 'tunggal' pada judulnya. Which means, I'm the chosen one! H—ck, yeah! Warisan, come to mama. Now!

Kuperhatikan wajahnya sekilas sebelum akhirnya kepalaku jatuh ke atas meja, membiarkan pipi kananku menyentuh permukaannya yang dingin. "Ya, ya. Intinya,  mau gue berbuat cabul, kek. Mau asusila, kek. Muka gue tetep lebih penting daripada muka lo," jawabku asal. "Sonoh." Kuusirnya dengan lambaian tangan ke atas tanpa perlu menatapnya, tidak bertenaga untuk berdebat dengannya. And again, his flies' poop makes me wanna puke. Gross!

"MY GOD! Betulan cabul asusila?" tanya Amelia segera setelah Bima meninggalkan ruangan dengan langkah kaki yang super keras. Kali ini, sekretaris pribadiku benar-benar terpukau.

Entah kenapa juga rambut Bima barusan super berantakan dan tidak ditata rapi mengilat seperti biasanya. Nanti gel Antony aku buang kasih dia. Cocok juga dijadikan TPA alias tempat sampah.

"Lo pikir gue satu gene sama dia?" balasku lelah.

"Still ... he's your cousin."

"GUE GAK TIDUR SAMA DIA!!!" bantahku, menolak tegas memiliki sifat keganjenan plus tingkat-nafsu-level-puncak yang sama dengan Bima. I admit that he has a pretty face, but that doesn't mean that I will immediately jump on his lap! Dipikirnya aku ini cewek macam apa?! Lagian juga, yakin tulang pahanya tidak akan retak kalau aku melompat ke atas pangkuannya?

"... Really? You're not lying?" tanyanya, tidak juga berhenti mencurigaiku.

Percuma aku terus berusaha meyakinkannya. Kalau dari awal tidak ada niat untuk percaya, mau aku menjelaskan sampai mulut berbusa pun tidak akan ada gunanya.

Drrt ... kring ...

"... Uhm ... Liv?"
"What?!" tanyaku tidak peduli. A little bit annoyed, to be honest.
"Telepon," jawab Amelia singkat.
"Bilang gue lagi meeting," perintahku, masih dengan kedua mata tertutup. Don't disturb me trying to get my zen-ness back.

Drrt ... kring ...

"Euh ...."
"SIAPA SI—"
"Auntie lo," jawab Amelia cepat.

Kepalaku terangkat dari atas meja dan mulutku terbuka lebar.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang