3. Pass

2.2K 254 89
                                    

"Geh!"

Hanya satu patah kata terucap dari dalam mulutnya. Sebelah tangannya tidak bergeming, tetap melekat pada handle yang membukakan pintu untuk kami berdua—tamu yang jelas-jelas dalam alam mimpi pun tidak pernah terbayangkan akan datang ke rumahnya, di waktu yang tidak tepat untuk berkunjung pula.

"Permisi," lanjut sekretarisku seraya mendorongnya mundur, memberikanku spasi untuk masuk.

Tubuhku berdiri di tengah ruang tamu slash ruang keluarga. Sebuah televisi—no, no. Not a 'television'. You can't even call that teeny-tiny thing by that name!—berdiri di atas meja kayu, beberapa foto keluarga tampak di dalam pigura di kiri-kanannya. Kenangan yang ditunjukkannya menyalurkan kehangatan yang menyakitkan dan hatiku berdenyut perih.

"Siapa?!" teriak seorang perempuan. Sosoknya tiba-tiba keluar dari sebuah kamar di lorong dengan poninya yang dirol ke atas, mencegahnya supaya di keesokan hari tidak jatuh lepek pada permukaan dahinya.

Langkah kakinya seketika terhenti menatap tamu asing yang tidak dikenalinya ini. "Ma! Pa! Tony bawa dua cewek masuk!" Jeritannya terdengar melengking di tengah kegelapan malam yang sunyi.

"APA?! Mana si anak kurang a—"

"Selamat malam," ucap Amelia, menghentikan bentakannya yang mendadak muncul dari belakang.

Kuikuti gerakan wajah sekretarisku, mengangguk pelan untuk menyapanya. Begini-begini juga aku masih bisa beramah-tamah kepada yang jauh lebih tua. Asal jangan berani macam-macam saja.

"Ah ... malam," balasnya, berubah sopan. Dicabutnya segera lembaran masker yang awalnya melekat dan menutupi keseluruhan wajahnya, akhirnya memperlihatkan mukanya yang identik dengan anak laki-lakinya, tentunya lebih feminin ditambah dengan garisan keriput halus di bawah kedua matanya.

Rambut ikalnya acak-acakan dan piama batiknya sedikit tampak kusut. Ia yang seharusnya tengah bersantai dan bersiap-siap untuk segera mengistirahatkan diri pastinya terganggu karena kehadiran kami berdua malam-malam begini.

"Perihal apa?" tanya Antony segera, menarik mundur ibunya.

"Interview lanjutan," jawab Amelia singkat, memberitahukan alasan kedatangan kami ke kediamannya. Padahal lebih tepatnya, nyelidik.

Kira-kira setengah jam yang lalu, aku baru berhasil memaksa Amelia untuk ke rumahnya supaya dapat meraih lebih banyak informasi terkait kehidupannya dan mengenai orang-orang di sekitarnya. Harus, dong! Dia kan berkesempatan buat memenangkan grand prize untuk menjadi my hubby!

"... Di sini?" tanya Antony kikuk. Parasnya kebingungan, terus menatap kami berdua bergantian.

"Interview lanjutan ... hah? Jadi yang kemarin lolos? Kok bisa?" tanya perempuan muda tadi yang kuyakini adalah adiknya yang mana sempat disebutnya waktu tanya jawab. Saat ini rolnya sedikit turun ke bawah dari posisinya semula berada, namun sepertinya masih layak berfungsi untuk mengembangkan poninya.

"Interview ... kerjaan? Ke rumah?" tanya ibunya juga, sama-sama tidak mengerti. "... Jam segini?!" tanyanya lagi selesai mengalihkan pandangan dari jam dinding.

"Jadi dia ini ... boss lo?" tanya adiknya lagi penasaran seraya menyenggol lengan kakak laki-lakinya beberapa kali. Kedua matanya juga sibuk mengamati penampilanku dari ujung kaki hingga puncak kepala dengan penuh ketelitian. Stop it! Don't make me feel risi, please!

"Shhh!" Antony menghentikan pertanyaannya dengan membungkam mulutnya. Perilakunya yang kasar baru kali ini kusaksikan.

Euh ... yakin sikapnya yang seperti ini pantas untuk dijadikan pendampingku? Amelia? Tidak salah pilih, 'kan? Me and him. Are you sure?

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang