"Masuk," perintahku padanya yang tetap berdiri mematung di depan pintu seraya menenteng kantong kain di kedua tangan. "Ngapain juga diem di situ. Langsung buka bisa, 'kan?"
"... Aneh aja," jawabnya kikuk. "Kayak masuk rumah orang seenaknya," tambahnya.
"Ngapain juga gue kasih lo password-nya."
Are you stupid or what? Kalau gitu jangan lewatin gerbangnya!
"Iya, iya," tutur Antony, tidak peduli dengan ocehanku dan segera menuju ke area dapur. "Lo kelaperan apa begimana, yah?" sindirnya seraya mengeluarkan seluruh isi belanjaan yang langsung memenuhi permukaan meja.
"Udah masak aja. Semuanya."
"Kurus-kurus tapi kayak sapi," ejeknya. "Tau, 'kan, sistem pencernaan sapi ada empat bagian," jelasnya, memberikan informasi.
Please, deh! Yang makan banyak tapi kerempeng, siapa?! Tapi ... hooo. Enak juga jadi sapi, yah. Bisa makan banyak tanpa peduli bakal muncul lemak nantinya. Huh! Bikin iri saja.
Kuperhatikannya tengah sibuk membuka setiap lemari, mengeluarkan berbagai jenis perkakas yang ia sedikit tahu di mana letak keberadaannya. Bahkan aku sendiri baru sadar memiliki panci sebesar itu. Suasana di sana yang awalnya kosong dan tidak terjamah, perlahan mulai tampak seperti area dapur yang seharusnya.
"Mau kemana, woi!" panggilnya keras.
"... Hah? Nonton," jawabku singkat dengan remote di genggaman. Mau kemana lagi?
Tangannya mengangkat sebilah pisau ke atas. "Enak aja. Bantuin!"
Kualihkan wajah, mengacuhkan dirinya yang masih menatapku. Apaan, sih?! Dia kan chef-ku! Berani-beraninya seorang pegawai malah menyuruh majikan bekerja! Kuacuhkannya dan menyalakan televisi dengan sekali tekanan, layarnya pun segera menyala terang.
"Sini!" perintahnya lagi. "Atau gak ada makan siang!" ancamnya galak. Ugh!
Kuembuskan napas seraya berjalan mendekatinya yang masih sesekali kebingungan mencari-cari alat masak di tempat yang asing baginya. "Lo yakin, butuh gue bantu?" tanyaku bingung seraya meraih pisau yang barusan diletakkannya di atas meja. "Seumur-umur, gue belum pernah masak," jawabku jujur. Ini begini bukan, sih, pegangnya?
"Hah? Waduh, lepasin!" perintahnya segera. "Ngeri banget, lo! Mau bunuh orang? Nih, gini, nih," ucapnya menyebalkan seraya mempraktikkan cara memotong yang benar. Hooo, ngobrol, dong.
Pikiranku mulai dipenuhi dengan pengulangan gerakan tangannya yang diperlihatkan barusan dan kuikutinya perlahan, canggung dengan gagangnya yang baru pertama kali kupegang. Kek gini? ... Atau gini? Duh, repot! Diblender saja, boleh gak? Biar cepat. Time is money!
"Lo ... asli gak pernah masak?" tanya Antony.
Kugelengkan kepala menjawabnya, masih tetap fokus dengan wortel di hadapanku. Don't disturb me! ... Gah! Stupid wortel! Bisa tidak diam di tempat dan jangan banyak bergerak!
"Terus, kalo laper?" tanyanya lagi seraya meraih salah satu potongannya—yang mana panjangnya melebihi satu ruas ibu jari, barusan melompat ke arahnya—dan segera dimasukkannya ke dalam mulut. NOOO! My wortel! He ate it! D—mn you, Antony!
"Beli," jawabku singkat. "Lo,"—kutatapnya dengan kedua mata yang menyipit—"rakus apa rakus. Belum juga mulai masaknya, bisa-bisa semua bahan keburu abis duluan!" lanjutku menyindir, tidak rela wortel yang kupotong dengan penuh perjuangan hilang dikunyahnya begitu saja. Padahal aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan, tahu-tahu sudah mengendap di dalam perutnya. Ugh!
"Segede gaban gitu potongnya, secepetnya mendingan dimusnahin," balasnya seraya mengelus perut dengan gerakan memutar searah jarum jam.
Gah! 'Gaban' katanya!
![](https://img.wattpad.com/cover/280977895-288-k330015.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Mine
Chick-LitReading List Dangerous Love - April 2022 @WattpadRomanceID Cerita Pilihan Bulan Desember (2021) @WattpadChicklitID -- [Undies Connoisseur Series] Olivia's Eccentric Placebo Kesehariannya dipenuhi oleh kerjaan, kerjaan, dan selalu kerjaan. Pulang lar...