24. Q&A

524 68 15
                                    

"KELUAR SEMUA!" teriakku dengan keras penuh amarah. Beban tubuhku yang berdiri di atas ranjang membuat lapisan seprainya acak-acakan, bahkan satu bantal hasil lemparanku barusan mendarat sempurna di atas dinginnya keramik lantai.

Mereka semua tetap terdiam di posisinya, saling menatap satu sama lain dengan gelisah, bingung untuk menuruti perintahku atau majikannya.

Kubuang napas panjang, tidak percaya kalau enam orang bodyguard bertubuh tegap dan kekar lebih takut kepada wanita itu—ya, siapa lagi kalau bukan Lily. Hanya dia yang bisa selebay ini memerintahkan pengawal untuk menjagaku sepanjang malam. Well, she's indeed scary.

Kutekan kening yang berdenyut sakit menghadapi situasi konyol saat ini. Ya, iya, lah! Siapa juga yang bakal suka ketika kumpulan pria asing berdiri mengerumuni ranjang dan menontonku yang berbaring sepanjang malam! Horror!

"Keluar. Biar nanti saya yang jelasin ke majikan kalian," ucapku lelah.

Setelah mencerna ucapanku untuk beberapa saat, akhirnya mereka semua mematuhiku, mengangguk sopan sebelumnya dan akhirnya melangkah pergi.

"Termasuk lo. Keluar," perintahku.

Antony tetap diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua lengannya terlipat, dengan jelas menunjukkan ketidaksetujuannya untuk meninggalkanku sendiri.

"... Keluar," ulangku. "Pulang. Gue bisa sendiri." Ia tetap berdiri tegak tidak bergeming dan pandangannya mengarah lurus kepadaku. "... What?"

"Kenapa, sih, lo selalu bilang bisa sendiri?"

"Emang gue bisa sendiri," jawabku. "... Harus bisa sendiri," gumamku kali ini dan kembali masuk ke dalam selimut dengan posisi tubuh berbaring menyamping, sebisa mungkin menahan rasa sakit pada luka yang langsung menyentuh permukaan kasur.

"Yakin? Gue pulang, nih?"

Kubuka kedua mata mendengar pertanyaannya di belakang. Aku terdiam dan tak sanggup berkata. Kuremas erat sisi selimut dengan tanganku yang bergetar, masih merasa takut akan kejadian kemarin dan ingatan pahit yang kembali terbayang-bayang.

Kudengarnya membuang napas, memahami sepenuhnya akan sikapku yang menyedihkan. "Seperti biasa, keras kepala. Ngomong aja kalo mau ditemenin," ucapnya hangat.

Indra pendengaranku segera menangkapnya tengah membuka ritsleting ... don't tell me, he's not opening his zipper, right? Stop, stop! Bukan 'ditemani' seperti itu yang kuinginkan! Serentak kubalikkan tubuh untuk menghentikannya berperilaku lebih jauh—hooo, ternyata membuka tas, toh. Phew!

"Mau ngapain, lo?!" tanyaku, memerhatikannya mengeluarkan pakaian tidur dan handuk, serta beberapa perlengkapan lain yang dibawanya dari rumah—entah bagaimana caranya semua itu bisa berada di sini saat ini.

"Mandi," jawab Antony singkat.

"Hah?" Posisiku saat ini kembali duduk tegak dengan kedua mata terbelalak. Mulutku yang menganga terbuka lebar memberikan akses masuk kepada serangga untuk hinggap dengan mudah ke dalamnya.

"Gue lupa bawa sikat gigi. Ada ekstra?" tanyanya cuek.

***

Ting!


Beware! Benih!
Just now


Kulempar telepon genggam selesai membaca pesan Amelia. Stupid secretary! Lihat saja besok, aku kasih kerjaan numpuk, baru tahu rasa!

"Galak bener," tutur Antony, menanggapi perlakuanku yang kasar kepada ponsel yang jelas-jelas tidak bersalah. Kupastikan saat ini telah hadir goresan baru di layarnya, hasil benturannya yang keras dengan permukaan dinding.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang