35. Souvenir

635 75 19
                                        

"Liv! Ini apa maksudnya?"

Suaranya terdengar panik, tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang tengah terjadi.

"Semua udah dibawa? Gak ada yang ketinggalan?" tanyaku.

"Iya, tapi jelasin dulu—"

"Nanti ngobrolnya. Sebentar lagi bakal ada yang jemput," balasku, tidak mengindahkan permintaannya yang menunggu penjelasanku. "Betul di depan rumah lo gak ada siapa-siapa, 'kan?" tanyaku was-was.

"Gak ada, Liv," jawab Agnesia setelah beberapa saat diam sejenak. Sepertinya ia mematuhi perintahku untuk mengintip terlebih dahulu ke luar kediamannya, memastikan tidak adanya siapa pun di sana. "Ini ada apa, Liv? Ada masalah? Lo gapapa, 'kan?"

Again, ucapannya sama persis seperti yang dikatakan ayahnya. Mereka yang bakal bermasalah, malah terus menanyakan kondisi orang lain. Orang lain yang bukan siapa-siapa mereka. Orang lain yang justru merupakan penyebab dari kekacauan ini semua. Lucu sekali memang kelakuan anggota Darmawangsa itu.

"Nanti di sana belajar yang bener. Awas kalo lo bolos terus. Kali-kali gapapa, tapi jangan keseringan," ceramahku.

Tet!!!

Bel rumahku berbunyi.

"Bukan itu, Liv! Kenapa kita harus per—"

"Jaga papa-mama lo," potongku. "Semuanya udah siap. Kalo ada apa-apa, tanya sama tangan kanan Uncle aja. Nanti gue telepon begitu lo udah sampe sana." Kumatikan panggilannya segera.

Tet!!!

Sekali lagi bel rumahku terdengar di saat pembicaraanku dengan Agnesia selesai.

"Jelasin," pintanya singkat segera setelah kubuka daun pintu.

Kualihkan pandanganku darinya, meninggalkannya yang masih tetap berdiri tegak di sana menunggu datangnya penjelasan dari dalam mulutku. "Ini. Udah gue masukin koper semuanya. Tinggal dibawa aj—"

"Jelasin," potong Antony.

"Udah, buruan berangkat. Agnes sama papa-mama lo menuju airport sekarang." Kuangkat salah satu kopernya yang kuletakkan semula di samping dinding kamar, supaya pindah tempat ke luar area rumah untuk secepatnya dibawanya pergi.

"Separah itu?" tanyanya, menahan kedua tanganku dan akhirnya tas berat itu kembali jatuh ke bawah.

"Gak," bantahku berbohong. "Anyway, papa lo sakit, 'kan? Dia secepatnya butuh pengobatan. Di sana lebih canggih dan lengkap. Mama lo juga udah berumur dan gak mungkin bisa handle semuanya sendirian. Agnes juga masih terlalu muda. Dia butuh lo buat bantu—"

"Deal," ucapnya tiba-tiba.

Kuacuhkan perkataannya segera, tahu pasti akan arti dari kata yang diucapkannya itu. "Lo mau S2, 'kan? Ke luar? Tapi gue gak bisa bantuin soal beasiswa. Itu tergantung kualitas gambar lo. Oh! Sama otak lo, pinter atau gak—"

"Gue bilang, deal," ulang Antony lagi dengan nada suaranya yang lebih tajam.

Kuembuskan napas akan perilakunya yang berusaha untuk menahanku membuatnya pergi. Berhentilah untuk tetap berada di sini. Berhentilah untuk terus terjerat oleh sarangku yang menghanyutkan.

"... Gak ngerti juga?" ucapku dingin. "Itu artinya, gue nolak lo. Udah gak ada rencana pernikahan lagi. Semua udah dibatalin. Jadi gue udah gak butuh lo. Anggep aja semua ini ucapan maaf dan terima kasih gue."

"Liv." Cengkeramannya di pergelangan tanganku bertambah keras dan terasa sedikit menyakitkan.

Kutatap kedua matanya untuk beberapa saat di balik kacamata tebalnya yang entah sejak kapan tidak pernah kupaksa lagi untuk dilepasnya. "Money. That's the only thing I have. Dan gue bisa mendapatkan semuanya dengan uang. Termasuk bikin lo pergi."

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang