31. Killer Beam

629 71 38
                                        

"Tender udah pada masuk, Vin?" tanya Bakti.
"Euh ... udah kayaknya?"
"Cek, tolong," pintanya lagi.
"Hah? Itu kan bukan tugasku! Lagian aku masih sibuk proses hasil pengukuran teodolit!"
"Yang bikin Rini resign, siapa?" balas Bakti tenang.
"Lah? Bukan aku doang toh, yang jauhin dia—"
"Ya, saling bantu, gak ada salahnya, 'kan?" selanya akan kalimat penolakan bawahannya tersebut.
"... Iya, deh."

"Barengan sama kamu, Ez. Biar cepet," perintah Bakti kali ini.
"Oh, my God! Tapi aku ada janji ketemu kontraktor baru. Sekalian mau survei juga."
"Masih sejam lagi, 'kan?" tanyanya memastikan.
"... Iya, sih. Tapi ... Dit! Kamu aja yang bantuin, gih!"
"Gak bisa, Ez! Masih banyak ini detail gambar yang belum lengkap!"
"Euh ...."

"Aku yang bantu analisa tender aja, Ti." Dhira dari Divisi Keuangan menawarkan bantuan.
"Okei. Thank you, Ra," tutur Bakti sambil mengangguk puas.

"Ken, progres pembangunan infrastruktur udah berapa persen?" tanya Bakti lagi.
"Ini aku mau ke lapangan sekarang, Bro. Mandornya bodoh banget! Suruh bikin saluran di kiri, malah ngegali di kanan!"

What?! Coba bilang sekali lagi!

"Waduh! Cepet suruh perbaikin, deh. Balik kantor langsung laporan, yah," instruksi Bakti.
"Hooh."

"Ti, ini ditolak iklannya, kurang menarik katanya. Terlalu biasa," jelas Resti dari Divisi Pemasaran. Namanya kuingat karena sudah beberapa bulan ia naik pangkat menduduki posisi manager, sehingga ia rutin memimpin meeting dan beberapa kali melaporkan hasil pekerjaannya langsung kepadaku.

"Lin, kamu bantuin coba. Diskusiin bareng-bareng," suruh Bakti.
"Dih! Jangan bilang, brosur juga harus di-design ulang, masa?!"
"Pastinya," jawab Resti sambil mengangguk lesu.

"Oi, tunggu! Aku cross-check dulu harga jualnya," potong Dhira. "Merinding aku kalo ada yang salah." Nama perempuan ini juga kuingat karena baru-baru ini ia menggeser posisi Berta. Karakternya gesit, telaten, dan kinerjanya pun cukup memuaskan.

"Takut sama siapa kamu?" sindir Ez. Euh, aku tidak tahu nama lengkapnya. Bahkan ia yang dipanggil Ez juga baru kuketahui sekarang. Staf yang tidak penting untuk diingat.

"Kayak yang gak tau aja," jawab Dhira sambil menekan keningnya.

"Tumben-tumbennya Killer ngasih cemilan gratis lagi," tambah Resti. Pandangannya tertuju pada area pantry yang seluruh permukaan mejanya tertutupi oleh beberapa dus donat beraneka rasa.

Eh! Udah dikasih, malah ngelunjak!

"Makanya jangan bikin salah," timpal Bakti. "Aduh, Ken. Buruan cabut, deh. Semoga cuma baru digali."

"Hooh, hooh. Bentar, aku ganti sepatu dulu. Gak lucu ke lapangan pake sendal jepit," balas Ken. Again, I don't know his full name.

"Yang gak lucu itu kalo Killer denger di lapangan ada kesalahan," kata Ez.

Hello~, I'm f—ckin' here and yes, I heard everything!

Entah bagaimana caranya, bahkan keberadaanku di sini pun tidak tampak oleh mereka semua. Hiii! Gak ada setan di depanku, 'kan? Apa sekarang aku juga jadi ikut samar-samar tidak tampak, mirip Antony yang tiap kali mukanya gak kelihatan di semua surat kabar? Hush, hush! Pergi sana, jurig! Nanti aku kepretin pakai air suci sekalian. Sekali lagi aku harus menjilat ludah sendiri. Karena setelah dipikir-pikir, jauh lebih baik mengundang pastor daripada aku ditunggangi kumpulan setan.

"Oalah! Ya udah, aku cabut sekarang," balas Ken lagi, panik.

"Lah itu, sebelah sepatu, sebelah sendal. Begimana, Ken?" tanya Resti seraya terkekeh.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang