"Nama?" tanyanya.
"... Bekti," jawabnya kikuk.
"Lengkap," pinta Amelia lagi di sampingku.
"Bekti aja, Bu."
Oh, my. So, there are Bakti and Bekti now. Tidak apa-apa, deh. Memudahkan diriku ini untuk mengingat namanya.
"Umur?"
"25."
"Tinggi badan?"
"... 183."
"Berat badan?"
"Hah?"
Tok ... tok ... tok ...
Sekali lagi kudengar ketukannya di atas papan.
Ketika pelamar kesulitan menjawab, pasti ketukan bolpoin itu yang terdengar. Biar terkesan menyeramkan, katanya. Supaya semua pertanyaan yang diutarakannya dijawab dengan jujur. Bravo buat acting-nya!
Itulah pola tanya jawab yang berulang-ulang dan selalu dilakukan oleh sekretarisku ini. Selesai menanyakan nama, lalu umur, kemudian tinggi, baru terakhir berat badan. Sama seperti interview sebelum-sebelumnya, sama seperti perlakuannya kepada lelaki culun berkacamata tebal yang dibawanya kepadaku.
Sob sob ... ingat dia lagi. I feel like crying now. Can I go back home? Sebentar doang. I just need to take a little sniff. ... Ugh! I really need to smell him! Apa suruh Esih bawain aja, yah? Mumpung today Selasa. She's home. Lagi bebersih.
"... 61," akhirnya ia menjawab setelah diam dulu sejenak karena pertanyaan interview pekerjaan yang terlalu aneh. Pastinya. Ini kan kantor properti, bukan pencarian bakat model.
Semua jawaban yang keluar dari mulut si Bekti ini cukup identik dengan yang pernah dijawab pria itu dan penampakannya pun sekali lagi membuatku ingin muntah. Kenapa bisa begitu? Dress code acara kali ini adalah fashion bapak-bapak berumur. Harus pakai kemeja putih berlengan panjang, kerahnya juga perlu dikancing hingga mengikat leher, celana menggantung, dan satu lagi, kaus kaki abu-abu. Tidak mengikuti aturan berbusana? Tentu saja bye-bye.
Kalau kacamata tidak sulit. Bekti ini pun indra penglihatannya rusak karena keseringan melihat layar. Kan memang aku sengaja mencari staf drafter yang kerjaannya terus melongin komputer.
"Kamu diterima," kataku singkat.
Proses tanya jawab berakhir dalam hitungan menit. Tentunya poin-poin lainnya seperti berapa jumlah anggota keluarga dan apa mereka semua masih hidup, atau juga seperti apa wajahnya di balik kacamatanya itu, tidak kubutuhkan saat ini.
"Hah? Semudah itu?" tanya Bekti kebingungan.
Yes, semudah itu.
Walaupun kacamatanya tidak setebal gaban seperti milik pria yang kukenal hanya selama dua bulan itu, tapi kalau dilihat sekilas sosoknya dari atas ke bawah, pastinya tidak dapat dibedakan. Sama-sama cungkring dan pastinya menjulang tinggi. Suatu mukjizat tidak ada seorang pun yang berhasil melihat mukanya. Phew! Siapa pun jurig yang terus membuat wajahnya samar-samar, thank you! Oh! Jangan lupakan polemnya. Aku juga harus menambahkan kriteria penting itu di dalamnya.
"Masuk," pinta Amelia ketika suara ketukan pintu terdengar.
"Ibu ma-manggil s-s-saya?" tanya Bekti, eh Bakti. Sorry~. Nama kalian mirip, sih. Untung yang satu badannya 1, yang satu lagi 0. Jadi mudah dibedakan dari bentuk tubuhnya.
"Bawahan baru kamu. Dilatih yang bener," perintahku.
"Ba-Baik. Kami p-p-permisi, Bu."
And guess, siapa yang sedang menguping di depan pintu ketika mereka berdua meninggalkan ruangan? You know who they are. Sekali lagi, mereka menundukkan kepala ketika tatapan kami bertemu.

KAMU SEDANG MEMBACA
You're Mine
Chick-LitReading List Dangerous Love - April 2022 @WattpadRomanceID Cerita Pilihan Bulan Desember (2021) @WattpadChicklitID -- [Undies Connoisseur Series] Olivia's Eccentric Placebo Kesehariannya dipenuhi oleh kerjaan, kerjaan, dan selalu kerjaan. Pulang lar...