4. Offer

1.8K 205 55
                                    

"Turun," pinta Amelia.

Kendaraan dihentikannya tepat di depan pintu masuk yang memperlihatkan suasana tanpa aktivitas di dalamnya.

"Yang bener aja, lo! Masa text-nya kek gini?!" protesku selesai membaca kalimat pesan yang dikirimkannya tadi—"23.00 Moongrand Coffee, Broadway."

"... Kenapa emangnya?" tanyanya seraya menatap display waktu di dashboard yang menunjukkan pukul 22.50, sepuluh menit lebih pagi dari waktu yang dijanjikan.

"This late?!"

Ditariknya secara paksa telepon genggam kembali padanya dan dirabanya permukaannya dari hasil remasanku yang keras. "Ibu Olivia, yang tadi minta meeting baru dimulai jam tujuh malam itu siapa?" tanyanya mengingatkan.

"Harusnya ditunda besok, dong!"

Amelia menatap wajahku sebelum diembuskannya napas panjang, memahami usahaku yang menyedihkan. "Again!" ucapnya tidak suka.

"... Apaan?" Dengan cepat aku membuang muka.

"Tiap kali ketemu cowok, pasti nyari alesan!" bentaknya. "Wake up!" Tangannya mendarat di atas pundakku dan menggerak-gerakkannya dengan kasar.

"Batalin aja, deh!"

"Benjamin! Tiga bulan!" ingatnya, "Bima!" lanjutnya lagi. "Lo gak liat Quick dia? Oh, lo gak punya QG, yah? Cape, deh ... jaman gini gak maen sosmed!" tambahnya bertubi-tubi. "Sepupu lo itu asli jijik banget! Hampir semua staf kantor ditidurin! Apa mau, semua harta lo jatuh ke dia?!"

Kubuang napas penuh frustasi menyadari semua fakta yang ada dan masa depanku yang segera menuju ambang kemiskinan. "Ehhhhh~," rengekku memelas manja seraya menatap wajahnya dengan kedua mata yang kuupayakan supaya berbinar.

"What now?" tanyanya tidak peduli dengan sebelah alis yang terangkat. "Turun," perintahnya galak.

Kumajukan bibir bawah semaksimal mungkin, cemberut sebal dan dengan terpaksa mematuhinya, tahu benar kalau setiap jurus yang kukeluarkan pasti dapat ditangkisnya dengan smash yang handal.

"Good luck!" teriaknya menyemangati dari balik kaca yang hanya diturunkan setengah.

"Loh?! Gak turun?" Pintu mobil segera dikuncinya di saat kedua kakiku melangkah keluar dan semburan angin malam kurasakan menampar wajah. Usahaku untuk kembali menaiki kendaraan digagalkannya begitu saja.

"Yang perlu married sama dia bukan gue," jelasnya datar.

"Terus, gue pulangnya gimana? WOI!" protesku padanya yang menginjak pedal gas dengan sekali pijakan, meninggalkanku seorang diri untuk menemui lelaki asing yang kuharap setuju untuk menikahiku.

***

Kuteguk pahitnya kafein dari dalam mug putih segera setelah aku duduk di atas sofa. Tanganku sedikit bergetar dan telapaknya mulai mengeluarkan keringat. Jam tangan yang tersemat di lengan saat ini memberi petunjuk bahwa tinggal semenit lagi waktu untuknya hadir.

Aku menghirup dalam-dalam udara beraroma kopi dan mengembuskannya sekali jadi untuk sebisa mungkin menenangkan diri. Parah! I'm the interviewer, kok malah bisa lebih tegang! Kuangkat kembali smart watch dan ia serentak terbangun menampilkan angka besar 11.01 PM di atasnya. Telat!

Kubalikkan tubuh ke arah pintu kaca dan sosoknya terlihat samar berdiri canggung dengan mulutnya yang menganga lebar. Lenganku yang memanjang ke atas segera menarik perhatiannya dan dengan satu kali lambaian tangan aku menyuruhnya untuk mendekat.

"Duduk," perintahku padanya yang menghentikan langkah tepat di belakang. Kuteguk kembali minuman di hadapanku sebelum bersiap-siap mengangkat wajah untuk menatapnya.

You're MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang