Di Ujung Cakrawala

62 13 26
                                    

Bagaikan alunan merdu yang menenangkan di tengah emosi yang berkecamuk dalam sanubari, deburan ombak yang menghantam karang menjadi pengiring di penghujung hari. Ditemani dengan semilir angin yang berusaha membawa pergi segenap gundah, dan kicau burung camar yang menjadi penyelaras harmoni, dia masih duduk diam di atas karang tertinggi yang berdiri kokoh walau terus dihantam sang ombak. Dengan pandangan lurus dan jauh ke depan, seperti berusaha menyingkap apa yang tengah sang horizon sembunyikan di balik garis tipisnya, dia masih diam tidak bergeming walau sang mentari telah mulai meninggalkan jejak merahnya di cakrawala.

“Mau sampai kapan kau duduk di sana?” Satu suara yang melontarkan satu tanya, tetapi dia masih berbalut bisu. Seperti pertanyaan itu tidak sampai pada indra pendengarnya.

“Kau mau bermalam di sini atau bagaimana?” Lagi, satu pertanyaan kembali terlontar, tetapi tetap tidak mendapat balas. Membuat si pemilik tanya mulai gusar dan kesal. 

Menghela napas sejenak guna meredam emosi yang bergejolak, si penanya mulai mengambil langkah mendekat, dan kemudian duduk di sebelah si dia yang masih sunyi.

“Kali ini kenapa lagi, hm?” Satu tanya lagi kembali dilayangkan, tetapi kini dengan nada yang lebih lembut dari yang sebelumnya. Namun, sayangnya, tanya itu masih berbalas bungkam. Membuat hanya harmoni alam yang mengisi nada di antara dua insan untuk beberapa waktu yang terus bergulir.

“Senja ….” Akhirnya, dia yang sedari tadi membisu akhirnya mulai membuka kata.

“Aku mau cerita, boleh?” lanjutnya tanpa mengalihkan pandang dari laut luas.

“Boleh, mau cerita tentang apa, hm?” balas sosok yang baru saja dia panggil dengan sebutan Senja, yang sedari tadi tanyanya terus terabaikan.

“Kau ingat tidak apa yang kita bicarakan di sini 2 tahun lalu?” tanyanya, tetapi tetap tidak menaruh atensi pada sang lawan bicara.

“Em ... yang mana satu?” Dahi Senja berkerut bingung. Pasalnya, tidak hanya satu atau dua perbincangan yang pernah mereka lakukan di sini. Mulai dari mereka remaja sampai memasuki usia dewasa seperti sekarang, ada banya hal yang mereka bahas. Dari yang konyol tidak berfaedah sama sekali, hal-hal random yang tiba-tiba singgah dalam benak masing-masing, sampai hal-hal serius pun semua pernah mereka bicarakan di sini. Jadi, yang dia maksud itu yang mana?

“Ah! Yang pernah kita bicarakan terlalu banyak, ya,” ucapnya diikuti kekehan kecil. Merasa sedikit konyol karena tiba-tiba melontarkan tanya, tetapi tidak memberi spesifik konteksnya apa.

“Yang aku maksud itu obrolan kita tentang kisah happy ending, kau ingat, ‘kan?”

“Ho, yang itu!” seru Senja ketika mengingat momen yang dia maksud. “Memangnya kenapa dengan obrolan kita itu?”

“Kau ingat tidak? Dulu, aku bersikeras kalau cerita yang happy ending itu seperti dongeng Cinderella dan kawan-kawannya,” ceritanya sembari mengalihkan pandang pada langit yang berhias merah–oranye, seperti mencoba menggali lagi memori lama, dan mencoba bernostalgia.

“Tentu saja aku ingat!” balas Senja sembari ikut mengalihkan pandang pada langit yang kini sama seperti namanya, senja. 

“Kita sampai berdebat konyol masalah itu karena kau bersikeras kalau heppy ending itu ketika si Putri dan sang Pangeran dapat bersatu, baru setelah itu happily ever after,” lanjut Senja disertai dengkusan kecil, masih merasa konyol dengan akan perdebatan yang terjadi dulu.

“Yah … kalau diingat lagi, memang sangat konyol, ya, perdebatan kita itu,” akunya.

“Aku yang memang sedari kecil tontonannya seputar si Putri yang selalu berakhir bahagia dengan sang Pangeran di penghujung cerita, membuat lambat laun pikiranku akan yang namanya akhir bahagia, ya, seperti itu, seperti dongeng yang aku tonton.” Ada hela napas yang menjadi penjeda sejenak ceritanya.

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang